Monday 1 September 2014

Dulu Menolak, Sekarang Mendukung

Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi kerap menjadi polemik di negeri ini. Kebijakan yang katanya untuk masyarakat kecil ini, justru lebih banyak dinikmati masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Ketimbang membebani anggaran negara dan tidak tepat sasaran, sudah sewajarnya BBM bersubsidi dihapuskan. Otomatis harganya di tingkat masyarakat akan naik. Bila tidak segera dinaikkan, tentu akan semakin membebani APBN.
Namun, bila harga BBM dinaikkan, dikhawatirkan akan menyengsarakan rakyat. Sebab, dapat dipastikan harga komoditas lain ikut naik. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM berdampak pada meroketnya harga beberapa komoditas, seperti yang telah terjadi selama ini.
Dampak inilah yang mendorong timbulnya polemik ketika wacana kenaikan harga BBM digulirkan. Hal itu terjadi berulang-ulang kali. Saat ini, polemik itu mencuat kembali.
Mencuatnya kembali wacana kenaikan BBM ini, setelah Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengadakan pertemuan empat mata dengan Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) di Nusa Dua, Bali, Rabu (27/8) lalu.
Pertemuan untuk membahas transisi pemerintah itu, ternyata juga berisikan diskusi rencana kenaikan harga BBM. Presiden Terpilih Jokowi meminta Presiden SBY untuk menaikkan harga BBM menjelang akhir masa jabatannya.
Mendapat permintaan seperti itu, SBY pun menolaknya dengan bahasa yang sangat jelas dan terukur, yakni bahwa saat ini momennya tidak tepat untuk menaikkan harga BBM.
Setidaknya, empat alasan SBY bersikukuh tidak mau menaikkan harga BBM. Pertama, akan menambah beban masyarakat. Kedua, Pemerintahan SBY telah beberapa kali menaikkan harga BBM, yakni pada 2005 naik 140 persen dan 2013 naik 33 persen. Ketiga, dalam waktu dekat ada kenaikkan harga Elpiji (LPG), bila dibarengi dengan kenaikan harga BBM otomatis masyarakat akan semakin menderita. Dan Keempat, kenaikkan BBM akan memacu inflasi.
Selain alasan-alasan tadi, tentu SBY tidak mau mengambil kebijakan yang tidak populer dengan menaikkan harga BBM di masa akhir jabatannya. Menaikkan harga BBM tentu akan menurunkan elektabilitasnya sebagai pemimpin negara. Mungkin SBY ingin “khusnul khatimah”.
Karena permintaanya ditolak mentah-mentah, Jokowi pun mengisyaratkan siap menaikkan harga BBM bila nanti dilantik. Rencana ini, bahkan didukung Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Masih segar dalam ingatan kita, tatkala BBM ini akan dinaikkan SBY, PDIP yang paling getol dan lantang menolaknya. Partai tempat Jokowi bernaung tersebut beranggapan masih banyak opsi lain. Sehingga tidak perlu BBM dinaikkan.
Saking kerasnya menentang rencana kenaikkan BBM yang dilakukan Pemerintahan SBY, Fraksi PDIP di Senayan pun pernah meninggalkan sidang (walk out) saat pembahasan rencana kenaikkan BBM tersebut.
Mungkin karena konsistensinya menolak kenaikkan BBM inilah, akhirnya PDIP lebih diterima masyarakat. Tolok ukurnya, partai berlambang Banteng Moncong Putih ini meraih suara tertinggi saat Pemilihan Legislatif (Pileg) lalu dan sukses menghantarkan kadernya, Jokowi menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Wacana kenaikkan BBM memang kerap dijadikan komoditas politik untuk meraih simpatik rakyat. Atas nama rakyat, mereka yang berseberangan pandangan politiknya tentu akan menolak kebijakan tersebut.
Contoh konkretnya dapat dilihat bagaimana PDIP –saat di luar kabinet Pemerintahan SBY–dengan segala upaya menolak kebijakan kenaikkan BBM. Walaupun saat itu, Pemerintahan SBY menganggap, kenaikkan BBM merupakan hal wajar dan perlu.
Sebaliknya, saat ini malah PDIP yang getol memperjuangkan kenaikkan BBM. Tentu alasan yang digunakan pun sama seperti saat SBY menjabat, demi menyelematkan APBN.
Bukankah lebih baik, Jokowi yang merupakan pesuruh partai mencoba opsi yang mereka gembar-gemborkan dahulu, saat menolak kenaikkan BBM di era SBY. Bukan malah mengambil kebijakan serupa.
Kalau untuk menekan defisit anggaran dengan menaikkan harga BBM, tentu semua presiden bisa melakukannya. Lalu apa bedanya dengan pergantian presiden yang banyak menelan biaya?.
Bukankah pemerintahan baru nanti dituntut kreatif mencari solusi bagi permasalahan bangsa, termasuk persoalan BBM ini. Jadi, kita tunggu saja, apakah Pemerintahan Jokowi nanti benar-benar menaikkan harga BBM atau ada opsi lain yang dilakukan.

No comments:

Post a Comment