Monday 22 September 2014

Belum Apa-apa Sudah Ingkar

Telah terjawab bagaimana postur kabinet kepala negara terpilih kita, Joko Widodo atau yang lebih akrab dipanggil Jokowi. Kabinetnya nanti ternyata cukup gemuk, tidak seperti yang dijanjikan saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres). Jumlah 34 Kementerian yang diumumkan pada Senin (15/9) petang di Kantor Transisi, Jakarta Pusat, bahkan sama dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I maupun II yang dibentuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Postur kabinet tersebut tentu mengejutkan, mengingat Jokowi sering dikabarkan akan membentuk kabinet yang ramping, solid dan efektif.
Saat didampingi Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla (JK), Jokowi juga mengumumkan bahwa 34 Kementerian yang akan dibentuknya, 18 pos menteri di antaranya akan diisi kalangan profesional non Partai Politik (Parpol). Sedangkan 16 kementerian akan dipimpin pembantu Presiden dari profesional berbasis Parpol. Sekali lagi, dengan diberikannya 16 kursi menteri dari Parpol, berarti Jokowi tidak menempati janjinya ketika kampanye Pilpres. Ini membuktikan dan mau tidak mau harus kita katakan, bahwa kabinet Jokowi tidak lepas dari politik transaksional.
Mengenai perampingan kabinet dan tanpa politik transaksional, ternyata bohong belaka. Ini mungkin hanya sebagian kecil diantara “jualan” politik untuk menarik simpatik rakyat. Nyatanya, kabinet Jokowi jauh dari gambaran koalisi tanpa syarat yang selama ini didengung-dengungkan.
Sebenarnya, sah-sah saja Jokowi melakukan kedua hal itu. Karena itu adalah hak preogratif Presiden. Tetapi yang menjadi catatan kita, kedua hal tersebut sebelumnya telah digembar-gemborkan Jokowi saat kampanye Pilpres. Namun tidak ditepati ketika sudah terpilih.
Memang sih, dengan “menelan air ludah sendiri” terkait hal ini, kita tidak bisa buru-buru menilai kinerja Jokowi nanti. Hanya saja, faktanya rakyat telah dibohongi. Apalagi pengingkaran tersebut dilakukan di awal-awal sebelum pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.
Sebagaimana kita ketahui, pasangan Jokowi-JK diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Pasca ditetapkan Jokowi sebagai Presiden, tarik-ulur jatah menteri untuk Parpol pengusung sebenarnya sudah kelihatan. Beberapa Pengamat pun menilai, kabinet Jokowi dibuat gemuk, justru untuk mengakomodir Parpol.
Ternyata, sosok Jokowi yang fenomenal pun tidak mampu lepas dari politik transaksional. Walau mengunakan bahasa profesional Parpol, sejatinya itu pun tidak bisa langsung diterima rakyat. Sebab, itu hanya untuk memperhalus kabinet balas jasa yang dibentuknya.
Jokowi sangat paham, bila tidak mengakomodir figur-figur dari Parpol di kabinetnya akan membuatnya “sakit”. Walaupun pemerintahan kita menganut sistem Presidensial, seorang Presiden bila ingin mengambil kebijakan strategis perlu mendapatkan persetujuan legislatif. Makanya tidak heran, pemerintahan Jokowi nanti dipandang beberapa kalangan akan kerepotan. Pasalnya, Koalisi Merah Putih, yang notabene kubu pengusung pasangan Parabowo-Hatta pada Pilpres kemarin menguasai Parlemen. Agar tidak ditinggalkan Parpol pengusungnya, maka mau tidak mau Jokowi menjalankan politik transaksional. Jadi, apa bedanya dengan kabinet Jokowi dengan era SBY, karena persentase menteri dari Parpol tidak jauh berbeda.
Agar memuluskan jalan roda pemerintahannya kelak, Jokowi sebenarnya pun berupaya “merayu” Parpol lain yang berada di Koalisi Merah Putih untuk merapat ke pihaknya. Agar mau bergabung, tentu saja ada bergaining politik, jatah menteri yang ditawarkan. Hanya saja, sampai saat ini Koalisi Merah Putih nampaknya masih solid. Tetapi, karena nama-nama menteri masih belum diumumkan, kita pun tidak tahu perubahan ke depannya. Apakah ada Parpol lain yang akan bergabung denga kabinet Jokowi atau tidak. Sebab, politik itu dinamis dan sulit ditebak, karena tergantung kepentingan.
Sekali lagi, kita tidak bisa buru-buru menilai kinerja Jokowi dengan keadaan sekarang ini. Walaupun ada kesan politik transaksional, tetapi bila nanti roda pemerintahan berjalan baik, toh tidak ada masalah. Apalagi, jika pemerintahan Jokowi bersama JK nanti dapat menunjukkan kinerja yang cemerlang. Tentu publik tidak mempermasalahkan kabinet gemuk ataupun politik transaksional.
Tetapi, yang menjadi catatan buruknya adalah masalah inkonsistensi Jokowi terhadap apa yang diucapkannya. Alih-alih membuktikan omongannya saat kampanye Pilpres kemarin, menghadapi Parpol pengusungnya saja ia kesulitan. Bagaimana mau menjalankan program-program kerakyatan yang telah digaungkannya. Sementara ia saja tidak mampu lepas dari sandera Parpol.
 Akhirnya, memang tidak ada yang gratis di dunia ini. Terlebih, di dunia politik. Apalagi, terkait Parpol dukung-mendukung calon Presiden. Pasti ketika calon yang didukungnya berhasil terpilih, Parpol tersebut meminta jatah kursi menteri. Artinya, koalisi tanpa syarat sesungguhnya hal mustahil di dunia politik. Hal itu digembor-gemborkan, hanya untuk menarik simpatik rakyat.
Kemudian, karena nama-nama menteri belum diumumkan, maka publik pun masih menunggu. Kita harap, nama-nama yang dipercaya menjabat menteri nanti tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat. Publik juga menunggu, apakah Jokowi konsisten dengan ucapannya kalau pembantunya di kabinet nanti tidak boleh rangkap jabatan di Parpol. Bila nanti setelah dilantik tetap saja tidak konsisten dengan ucapannya, maka akan mengurangi elektabilitas Jokowi sendiri. Publik akan menilai, selama ini ternyata Jokowi hanya memberikan harapan besar dan kemudian mengabaikan janjinya. Bila itu yang terjadi, dikhawatirkan akan mengurangi legitimasi rakyat pada Jokowi. Sebab publik menilai, Jokowi tidak sesuai dengan apa yang disampaikannya.