Thursday 30 June 2016

Keriang Bandong, Tradisi Ramadan yang Mulai Pudar


Pontianak. Kota Pontianak Kaya akan tradisi. Termasuk tradisi selama bulan puasa. Yang paling familiar meriam balok dan sotong pangkong. Selain itu, ada lagi satu tradisi yang dilakukan warga Pontianak saat Ramadan.
Tradisi yang dimaksud yaitu keriang bandong. Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini mulai pudar. Padahal keriang bandong memiliki banyak makna.
Di Gang Tanjung Harapan, Jalan Imam Bonjol, Kecamatan Pontianak Tenggara, warga berupaya  menghidupkan kembali tradisi keriang bandong. Bertepat di sekitar Masjid Nurul Yaqin, pengurus masjid dan warga memasang pelita sebanyak 650 buah. Penerangan sebagai pengganti obor dan berbahan bakar minyak  tersebut dibuat dari botol kaca minuman energi. Lampu minyak ini lah yang disebut keriang bandong.
Keriang diambil dari kata sejenis hewan serangga yang menyukai cahaya. Sedangkan bandong diambil dari kata berbondong-bondong. Karena kebiasaan keriang selalu berbondong-bondong mendatangi pusat cahaya.
Pelita-pelita itu disusun pada sebuah bambu yang sebelumnya telah dirangkai. Ada yang berbentuk gerbang, pagar, dan lainnya. Malam hari ketika pelita-pelita dinyalakan api menjadikan suasana lebih semarak.
"Ini hasil swadaya masyarakat," ujar H Bakrie Hasyim, Ketua Pengurus Masjid Nurul Yaqin  Sabtu (25/6) malam kemarin.
Menurutnya,  pemasangan keriang bandong ini untuk melestarikan tradisi melayu Pontianak. Tradisi ini bahkan sudah ada sejak zaman kerajaan. Keriang bandong dipasang setelah malam Nuzulul Quran atau 17 Ramadan. Tepatnya 10 hari akhir bulan puasa.
Pada zaman dahulu, keriang bandong dimaksudkan untuk menerangi jalan kaum muslimin menuju masjid. Terutama di sepuluh akhir bulan Ramadan untuk menunaikan ibadah malam, baik Salat, Terawih, tadarus, tafakur atau ibadah lainnya. Sehingga keriang bandong ini sekaligus sebagai bentuk penyemangat muslimin untuk mengejar malam lailatul qadar. Yaitu malam yang sangat istimewa karena lebih baik dari seribu bulan. Allah SWT akan melipatgandakan pahala ibadah yang dikerjakan saat lailatul qadar. Makanya, ia berharap tradisi keriang bandong tidak tenggelam ditelan zaman dengan cara menghidupkannya kembali. "Sehingga anak cucu kita tau makna dari tradisi keriang bandong," lugasnya.
Imam masjid Nurul Yaqin dan sekaligus Ketua RW 2 Gang Tanjung Harapan ini juga berharap bedug lebih budayakan. Sudah semestinya setiap masjid menyediakan bedug. Bukan sekedar jadi pajangan, tapi dapat dimanfaatkan untuk memberi tanda waktu berbuka puasa telah tiba. Saat masuk magrib, bedug dulu yang dibunyikan. Bukannya suara azan di radio melalui pengeras suara masjid.
"Kita ada bedug, panjangnya 1,5 meter dan tingginya 1,3 meter," jelasnya.
Pemkot sangat berperan agar keriang bandong dan bedug tetap lestari. Kendati keriang bandong pernah di lombakan, tapi gaungnya kurang terasa. Termasuk bedug, gaungnya tak tampak sama sekali. Untuk itu, Pemkot dapat menghidupkan keriang bandong dan bedug dengan rutin menggelar vestival saat Ramadan.
"Jangan hanya menggelar vestival meriam saja," serunya.

Friday 12 February 2016

Penting, Pontianak Punya Perda Drainase

Pontianak. Saat ini DPRD Kota Pontianak sedang menggodok beberapa Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Salah satunya yang dianggap penting, yaitu Raperda tentang Drainase.
“Kita tengah menggodok 46 Raperda yang salah satunya terkait drainase demi mengatasi banjir yang terjadi di Kota Pontianak,” ujar Ketua DPRD Pontianak, Satarudin, SH, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (11/2).
Politisi PDIP yang karib disapa Satar ini mengatakan Raperda tentang Drainase merupakan inisiatif DPRD Pontianak dan sudah mulai dibahas di internal dewan. Nantinya akan dilanjutkan temu pendapat dengan sejumlah pakar dan elemen terkait lainnya. “Nanti akan dibahas dengan akademik, dan sudah kita sosialisasikan, tinggal hanya masukan dari pakar,” jelasnya.
Sejauh ini, drainase yang ada sudah cukup banyak. Tapi banjir masih selalu menghantui Kota Pontianak, bila terjadi hujan deras yang cukup lama. Ini lantaran drainase yang ada kurang optimal baik dari sisi pemeliharaan, serta tata letak. Sehingga perlu diikat dengan Peraturan Daerah (Perda), agar drainase yang ada bermanfaat sebagaimana mestinya. “Karena drainase ini sangat dibutuhkan sekali, terlebih saat hujan lebat air menggenang sampai 3-4 jam. Kalau Perda in sudah terbentuk, kita harapkan 2 jam saja air sudah kering,” tegasnya.
Bagaimana drainasenya nanti, Satar menyatakan masih perlu kajian guna mematangkan Raperda tersebut. “Akan kita matangkan bersama stekholder, bagaimana konstruksi drainase ini. Kita harapkan semuanya, dari hulu ke hilir jangan sampai ada yang tertinggal, sehingga apabila saat banjir datang akan mudah surutnya,” katanya.
Satar mengaku belum tau kapan target Raperda inisiatif dewan ini selesai. Namun ia memastikan tahun ini sudah bisa rampung. “Yang penting selesai tahun ini, kalau semuanya sudah memberikan pandangan dan masukan, saya yakin sekitar 2 bulan ke depan akan kelar,” ucap Satar.
Pada tahun 2016 ini, lanjut Satar 46 Raperda yang masuk ke pihaknya, 10 Raperda merupakan usulan dewan dan 36 Raperda dari eksekutif atau Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak. Tidak semuanya Raperda baru, karena ada pula Perda lama yang dinilai perlu direvisi. “Seluruhnya akan kita selesaikan tahun ini, itu memang tugas dan tanggung jawab kita menyelesaikannya,” demikian Satar.

“Tidak Boleh Ada Berkas yang Bermalam”

Pontianak.“Tidak boleh ada berkas yang bermalam”. Itu lah warning Wali Kota Pontianak Sutarmidji kepada jajarannya, mulai dari Satuan kerja Perangkat daerah (SKPD), Kecamatan hingga Kelurahan.
Jargon dari orang nomor satu di Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak itu untuk mengingatkan jangan sampai ada berkas yang menumpuk. Tidak ada lagi kesan yang menunda-nunda pekerjaan, banyak tumpukan berkas di meja kerja.
Saya terobsesi agar Kota Pontianak menjadi laboratorium inovasi dalam tata kelola pemerintahan di segala aspek. Karena tidak sedikit prestasi yang diukir Pemkot dalam hal perbaikan tata kelola pemerintahan,” kata Sutarmidji, Kamis (11/2) usai soft launching Inovasi SKPD di Aula Sultan Syarif Abdurrahman (SSA) Komplek Kantor Wali Kota Pontianak.
Kebiasaan menumpuk berkas perlahan ditinggalkan jajaran Pemkot Pontianak. Jargon “Tidak Boleh Ada Berkas yang Bermalam” tersebut menunjukkan inovasi dan keseriusan Pemkot dalam memberikan pelayanan maksimal ke warganya. “Inovasi yang kita lakukan, mungkin tahun depan akan semakin baik lagi,“ ucap pria yang akrab disapa Midji ini.
Menurut Midji, pemerintahan yang baik memiliki tata kelola yang baik pula. Ini diyakini dapat menumbuhkan tingkat kepercayaan masyarakat dalam mengurus segala hal. Apa lagi ada inovasi percepatan dalam setiap urusan yang diajukan masyarakat.
Ketika kepercayaan masyarakat kepada pemerintah tinggi,
tentu akan menumbuhkan keikutsetaannya dalam membangun. Dengan demikian tentu akan membawa pada percepatan pembangunan yang diprogramkan pemerintah. “Masyarakat bisa berinvestasi, bisa berupa memberikan lahan untuk pelebaran jalan, melaporkan pajaknya dengan jujur dan masih banyak yang lainnya,” jelasnya.
Klaim keberhasilan
Midji ini diakuinya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak. Termasuk lembaga negara yang senantiasa mengawasi jalannya pemerintahan yang sudah dipegangnya di dua periode tersebut. “Atas nama Pemkot Pontianak, juga mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Ombudsman yang sudah melakukan bimbingan dalam perbaikan-perbaikan pelayanan publik di Kota Pontianak,” ungkap Midji.
Sementara itu, Deputi Bidang Inovasi LAN, Tri Widodo Wahyu Utomo menyatakan, inovasi yang di lakukan Pemkot Pontianak kuantitasnya tertinggi dibandingkan daerah lain. Atas dasar itu, pihaknya ingin menjadikan Kota Pontianak sebagai lumbung inovasi nasional.Kita harap ke depan daerah-daerah luar Pontianak datang ke sini untuk belajar tentang bagaimana tata kelola pemerintahan yang baik. Dari sisi pelayanan publik, pengelolaan aset, pengelolaan keuangan, SDM dan sebagainya,” katanya.

Thursday 11 February 2016

Siapkan Tata Kelola Destinasi Wisata TNDS

Putussibau. Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) memiliki potensi besar di sektor pariwisata. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Kapuas Hulu, saat ini sedang mempersiapkan konsep tatakelola destinasi wisata untuk wilayah TNDS.
 “Ini program pusat, program tatakelola destinasi Danau Sentarum dan koridornya. Kami sudah mengadakan sosialisasi bersama dengan Kabupaten lainnya. Sekarang masih dipetakan kebutuhan apa saja yang berkaitan pengelolaan kawasan Danau Sentarum dan sekitarnya,” terang Kepala Disbudpar Kapuas Hulu, Antonius Amd Pd SE, di ruang kerjanya, Rabu (10/2).
Dijelaskan Anton, sapaan karib Antonius, pemetaan kebutuhan pariwisata di Danau Sentarum meliputi sarana dan prasarana. Seperti dermaga, jaringan telekomunikasi, transportasi dan bidang lain yang diperlukan untuk mendukung nilai jual Danau Sentarum. “Maka itu nantinya menjadi program lintas sektoral, dengan melibatkan instansi lain. Karena pengelolaan pariwisata ini tidak lepas dari instansi lain, misal berkaitan dengan infrastruktur jalan, sarana komunikasi dan sebagainya,” ucapnya.
Ditambahkan Anton, sosialisasi bersama instansi terkait di Kapuas Hulu sudah dilaksanakan, tinggal satu kali sosialisasi pemantapan. Adapun dana pembangunan pariwisata merupakan urunan dari beberapa Kementerian terkait. “Kita sedang dipersiapkan untuk pendataan, tahun 2019 harus tuntas. Artinya selambat-lambatnya tahun 2019 destinasi Danau Sentarum harus sudah dijual,” harapnya.
Menurut dia, Danau Sentarum sangat populer, baik nasional maupun internasional. Untuk itu sambung Anton, pemerintah pusat menunjukan komitmennya melalui Kementerian terkait di bawah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman RI menggerakan sektor pariwisata. “Konsep pengelolaan pariwisata di Danau Sentarum yaitu di zona pemanfaatan, fokus utama memberdayakan masyarakat, untuk sejahtera masyarakat disekitar kawasan. Danau Sentarum jelas dengan keanekaragaman hayati yang lengkap,” demikian Anton.

Pontianak-Swedia Mengolah Sampah

Pontianak Sampah kerap menjadi permasalahan bagi kota, termasuk di Pontianak. Untuk itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak berencana membangun tempat pengelolaan sampah dengan menggandeng negara Swedia.
“Kerjasama dengan Swedia, mereka hanya memberikan pendampingan, informasi dan teknologi yang cocok. Saat ini mereka sedang dipelajari,” kata Wakil Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono, Rabu (10/2).
Sampah-sampah yang berada di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebenarnya bisa dibakar agar tumpukan berkurang. Bahkan seperti di negara-negara Eropa sampah dapat diolah menjadi energi listrik. Menurut Edi, hal itu bisa saja dilakukan, hanya saja akan menelan anggaran yang besar. “Kalau kita menggunakan ensikolator, untuk membakar sampah saja perlu menggunakan dana yang tinggi, solar atau lainnya. Apalagi kondisinya basah,” ujarnya.
Di TPA banyak pemulung yang mengais rezeki dari sampah. Tapi mereka hanya memungut sampah yang dapat langsung laku di jual. Edi berharap seluruh sampah dapat dipilah guna memudahkan jika hendak diolah kembali. “Kalau sekarang yang diambil pemulung plastik-plastik bekas munuman, baik yang gelas maupun botol, kantong keresek dibiarkan,” tukasnya.
Ke depan, kata mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Pontianak ini, bukannya tidak mungkin dan bisa melakukan daur ulang sampah. Asalkan ada yang mau bekerja sama dalam pengolahan tersebut. “Kita berharap ada investor yang masuk untuk membuat dan mengubah sampah organik menjadi kompos atau gas metan, kemudian sampah plastiknya sudah terpilah,” harap Edi.
Untuk saat ini saja, penanganan sampah di TPA Batu Layang, terkendala lahan gambut yang mencapai 13-15 meter dari permukaan. Akibatnya pencemaran kerap sampai ke pemukiman warga, terlebih saat musim penghujan. “Secepatnya akan kita upayakan buat jalan lingkar dan ditinggikan, supaya air tidak langsung menyebar ke parit maupun ke pemukiman warga. Tahun 2016 ini  sudah mulai,” ungkapnya.
Edi mengatakan, saat ini ia sedang mengkonsep, agar keberadaan TPA yang berlahan gambut tersebut tidak terus menjadi keluhan warga sekitar. “Saya lagi mengkonsep dan sebentar lagi membangun TPA itu menjadi TPA yang yang layak, sesuai dengan keinginan kita, misalnya tidak menimbulkan pencemaran. Kelemahan kita hanya lahan gambut, oleh sebab itu harus ada teknologi yang bisa mengatasi lahan bambut ini,” paparnya.
Langkah lain yang dapat dilakukan dalam penanganan sampah dengan membangun satu TPA lagi, beserta pengolahannya. Rencananya lokasi yang akan dibangun di Jalan Purnama 2.  Agar sampah di TPA Batu Layang tidak semakin menumpuk setiap harinya. “Nanti akan kita buat tempat pengolahan sampah di Jalan Purnama 2, supaya mengimbangi TPA di Batu Layang,” demikian Edi.

Wednesday 10 February 2016

Perusahaan Perkebunan Sawit Picu Sengketa Tapal Batas

Putussibau. Perusahaan perkebunan sawit diduga sebagai pemicu terjadinya tumpang tindih tapal batas antara Kabupaten Kapuas Hulu dengan Sintang, yang hingga kini belum tuntas. Kebijakan yang diambil pemerintah Provinsi ternyata berbenturan dengan aturan hak ulayat adat. Bahkan masyarakat menuding penentuan tapal batas syarat dengan kepentingan pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Seperti sengketa batas wilayah Desa Kenepai Komplek, Kecamatan Semitau, Kabupaten Kapuas Hulu dengan Desa Mungguk Lawang, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang yang sudah berlangsung selama tujuh tahun hingga kini belum terselesaikan.
Pitius, warga Desa Mungguk Lawang, Kecamatan Ketungau Tengah Kabupaten Sintang  mengungkapkan, permasalahan batas Desa antarkabupaten terjadi sejak tahun 2008 lalu. Namun pada 2010, keluar keputusan Gubernur Kalbar yang menyatakan wilayah adat harus mengikuti administratif wilayah yang ditetapkan pemerintah.
“Kalau ikut keputusan Gubernur itu, otomatis wilayah yang disengketakan menjadi milik Kapuas Hulu. Sementara kami warga Desa Mungguk Lawang Kecamatan Ketungau Tengah Kabupaten Sintang masih menganggap tanah itu milik kami,” kata Petius ditemui di Mapolres Kapuas Hulu, Selasa (9/2) ketika menjenguk keluarganya di tahanan karena Demo sengketa batas hingga berujung pemukulan terhadap Kades Kenepai Komplek.
Menurut Petius, persoalan batas mulai dipermasalahkan, semenjak masuknya perusahaan perkebunan kelapa sawit ke perbatasan dua daerah tersebut. Selain itu, keputusan penyelesaian batas yang diberikan hanya di atas meja, sementara masyarakat meminta diselesaikan dilapangan. “Di sana ada potensi sawit makanya diributkan. Ada puluhan perusahaan perkebunan kelapa sawit, perusahaan itu semuanya di bawah naungan Sinar Mas Group dan yang di wilayah sengketa itu PT Dinamika Multi Prakarsa (DMP)” sebut Petius.
Karena tidak adanya penyelesaian tapal batas, sambung Petius, pada 20 Januari 2015, warga Desa Mungguk Lawang berdemo ke Perusahaan PT DMP, hingga emosi warga memuncak dan menyerang Kades Kenepai Komplek, Kecamatan Semitau. “Tujuan kami berdemo tahun 2015 itu, menolak dokumen tahun 2010 yang menjadi dasar keputusan Gubernur tentang pilar batas. Kami datang ke perusahaan mendengarkan penjelasan Kades Kenempai Komplek dan kami tidak setuju, kami minta Kades Kenepai Komplek tanda tangan, bahwa kami menolak dokumen 2010 itu,” tutur Petius.
Pada dokumen 2010 itu menyatakan Plt. Kades Mungguk Lawang dan Camat Ketungau Tengah telah menyetujui dokumen 2010 tersebut dengan menandatangi dokumen itu. Namun kenyataannya Kades dan Camat sama sekali tidak menandatangani dokumen tersebut.
“Plt Kades itu abang saya dan Camat tidak ada tanda tangan dokumen 2010 itu,” tegasnya.
Petius menambahkan, buntut dari demo yang dilakukan itu, tiga orang dari Desa Mungguk Lawang ditahan Polres Kapuas Hulu, atas kasus pemukul Kades Kenepai Komplek. “Kades Kenepai Komplek juga sudah kami laporkan juga ke Polisi, karena mengancam warga kami yang datang ke Desa Kenepai Komplek. Namun sampai saat ini belum ada tanggapan dari Kepolisian terkait pelaporan kami,” pungkas Petius.

Air Sungai Kapuas Masih Layak Dikonsumsi

Pontianak. Bila telah minum air Sungai Kapuas, pergi jauh ke mana pun, pasti akan kembali lagi ke Pontianak. Sepertinya ungkapan tersebut masih berlaku, pasalnya air Sungai Kapuas saat ini dipastikan masih aman dan layak dikonsumsi.
Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia yang memiliki ribuan anak sungai, tetap menjadi kebanggaan Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak. Terlebih, sungai tersebut masih banyak digunakan warga Kota Pontianak, baik untuk mandi, mencuci, menangkap dan membudadayakan ikan serta sebagainya. Sungai Kapuas sangat penting bagi kehidupan masyarakat, tidak hanya Kota Pontianak, tapi juga Kalimantan Barat (Kalbar). Berbagai macam jenis limbah yang banyak dibuang ke Sungai Kapuas pun belum membuat kualitas airnya menjadi menurun.
Pemkot melalui Dinas Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Pontianak mengaku rutin memantau perkembangan status air Sungai Kapuas. Bahkan pihak BLH Kota Pontianak memastikan saat ini air Sungai Kapuas masih dalam kondisi aman untuk keperluan masyarakat. Sehingga masih layak dikonsumsi, baik untuk mandi dan mencuci. “Secara periodik sebanyak dua kali dalam setahun diambil sampelnya di 18 titik, mulai dari hulu sampai  ke hilir sungai. Hasilnya, Sungai Kapuas sejauh ini kondisinya masih aman," ujar, Kepala BLH Kota Pontianak, Multi Junto, Selasa (9/2).
Alur Sungai Kapuas tidak hanya di Kota Pontianak saja, karena melintasi sebagian besar Kabupaten di Kalbar. Sehingga menjaga Sungai Kapuas, bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab Pemkot Pontianak saja. Kabupaten-kabupaten lain pun, khususnya yang berhubungan langsung dengan Sungai Kapuas juga harus merasa memiliki sungai tersebut. “Untuk menjaga kondisinya agar tetap steril dan aman digunakan masyarakat,  bukan hanya tanggung jawab dari Pemkot Pontianak saja," tukasnya.
Mengingat masalah kualitas air Sungai Kapuas ini sangat serius, karena dampak yang dapat dimunculkan sangat luar biasa, perlu adanya koordinasi sebagai langkah dan upaya menjaganya bersama-sama. Dan selama ini ditanggapi positif oleh kabupaten-kabupaten lainnya. "Kita sudah melakukan koordinasi dengan kabupaten lain terkait  kondisi air Sungai Kapuas. Koodinasi ini akan terus dilakukan guna mengetahui perkembangan kondisi air Sungai Kapuas," demikian Multi

Banyak Tempat Nongkrong, Pemuda Australia Kagumi Kota Pontianak

Pontianak. Berakhir sudah program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia (PPIA) 2015-2016 di Kota Pontianak. Selama sebulan lamanya pemuda-pemudi asal “Negeri Kangguru” mengunjungi “Kota Khatulistiwa”. Mereka magang di berbagai kantor, instansi dan lembaga pemerintahan maupun swasta. 
Anna, salah seorang peserta program PPIA asal negara Australia menyatakan kekagumannya terhadap Kota Pontianak. Menurut dia, Kota Pontianak bersih, rapi dan indah. “Saya  suka berada di Pontianak karena lebih seru, suasananya begitu ramai. Terlebih Pontianak lebih bersih dari kota besar lainnya,” ungkapnya, Minggu (7/2) malam kemarin usai perpisahan peserta PPIA 2015-2016 Fase Perkotaan di Aula rumah dinas Wakil Wali Kota Pontianak.
Kekaguman lainnya Anna terhadap Kota Pontianak, karena banyaknya tempat nongkrong seperti cafe-cafe atau warung kopi (Warkop). Di negeri asalnya dulunya pernah ada, namun kini sudah jarang ditemukan. Karena sudah banyak yang tutup.“Pontianak begitu hidup. Malam hari pun masih ramai, karena cafe-cafe buka sampai larut malam,” katanya.
Selama di Kota Pontianak, Anna dan rekan-rekannya dimagangkan atau bekerja di berbagai kantor, instansi dan lembaga pemerintahan maupun swasta. Sementara Anna magang di salah satu stasiun radio sebagai penyiar. Pengalaman ini awalnya tidak pernah terbayangkan olehnya dan hanya didapat saat berada di kota Pontianak. “Mulanya saya gugup ketika pertama kali siaran, namun lama-kelamaan terbiasa menjadi penyiar. Sangat seru jadi penyiar, apakan lagi teman-teman di Australia bisa mendengar saya siaran melalui radio streaming,” ujarnya. 
Kekaguman Anna terhadap Kota Pontianak tentu saja membuat warga Kota Khatulistiwa tersanjung. Mewakili warga dan Pemkot Pontianak, Wakil Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono mengucapkan terima kasih atas kesan-kesan positif yang disampaikan pemuda Australia. “Mudah-mudahan dengan kegiatan ini bisa memacu anak muda kita untuk lebih maju dan berkembang lagi,” ucap Edi.

Wednesday 3 February 2016

Terima Kasih Mempawah

Belakangan ini Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) menjadi pembicaraan hangat di seantero negeri. Berawal dari hilangnya dokter Rica Tri Handayani bersama Balita-nya yang akhirnya ditemukan di Pangkalan Bun, Kalteng. Dari kasus itu, terungkaplah bahwa dokter Rica meninggalkan rumah dan suaminya lantaran bergabung dengan Gafatar. Sejak saat itu bermunculan kasus-kasus orang hilang yang berhubungan dengan Gafatar.
Orangtua, suami, atau istri melaporkan anggota keluarganya hilang karena bergabung dengan aliran sesat dan menyesatkan berkedok Organisasi Kemasyarakat (Ormas) bernama Gafatar.
Maraknya pemberitaan mengenai Gafatar dan sepakterjangnya membuat Kalbar bergejolak. Bermula dari aksi warga di Kabupaten Mempawah yang menolak keberadaan eks Gafatar. Puncaknya, terjadi pembakaran mobil dan kamp eks Gafatar.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mempawah pun akhirnya memulangkan eks Gafatar ke daerah asalnya. Kebijakan ini ternyata diikuti kabupaten/kota lainnya di Kalbar. Mereka khawatir, apa yang terjadi di Mempawah merembet ke daerahnya. Alhasil, sedikitnya 3.000 eks Gafatar dipulangkan dari tanah Kalbar ke daerah asalnya.
Proses evakuasi ini memang memunculkan empati. Lantaran para eks Gafatar terpaksa angkat kaki dari Bumi Khatulistiwa dan kehilangan harta bendanya. Apalagi ada kekhawatiran mereka tidak diterima di kampung halamannya sendiri. Pasalnya, image buruk Gafatar telah melekat di benak sebagian besar masyarakat Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara jelas telah menyatakan Gafatar sesat dan menyesatkan. Fatwa ini dikeluarkan sudah tentu melalui kajian yang mendalam. Apalagi diketahui Gafatar merupakan jelmaan dari aliran al-Qiyadah al-Islamiyah dengan berbagai ajaran sesatnya yang memiliki nabi palsu bernama Ahmad Mushaddeq.
Gafatar juga diyakini memiliki tujuan terselubung di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setidaknya mereka berupaya mendirikan negara dalam negara. Berkedok bergerak di bidang sosial dan ketahanan pangan, Gafatar memiliki enam fase dalam penyebaran alirannya. Yaitu sirran (rahasia), jahran (inklusif), hijrah (berpindah), qital (perang), futuh (kemenangan), dan khilafah (pemimpin).
Bila dicermati secara mendalam, keberadaan Gafatar tidak main-main. Kendati, mengaku telah lama bubar, eksetensinya masih terlihat. Menyatakan telah keluar, tetapi faktanya, simbol-simbol Gafatar masih banyak  dipegang. Mulai dari literatur atau buku-buku, pernyataan sumpah atau janji, dan lain-lain sebagainya. Bahkan di Kabupaten Kayong Utara ada Bupati versi Gafatar.
Kita mesti berterima kasih kepada warga Mempawah. Jika bukan karena mereka, mata kita sulit terbuka. Bisa saja di kemudian hari Gafatar menjadi "batu sandungan" negara.
Atau menjelma sebagai kekuatan besar, yang akhirnya membuat bangsa ini semakin kewalahan mengatasinya. Bukankah keberadaan Gafatar tidak hanya di Kalbar, tetapi juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara.
Tragedi pengungsian eks Gafatar dari Kalbar, jangan hanya dipandang dari sisi kemanusian semata. Ada persoalan besar di balik Gafatar. Benarkah mereka sekedar mantan anggota Gafatar? Secara formalitas mungkin Gafatar telah bubar, tetapi bagaimana dengan doktrin dan ajaran-ajarannya? Jika telah lama bubar, mengapa masih bermunculan kasus-kasus orang hilang yang ditengarai direkrut dan bergabung ke Gafatar?
Permasalahan eks Gafatar ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Kenyataannya, setelah keberadaannya terbongkar di Kalbar, banyak orangtua datang ke Pontianak mencari anggota keluarganya yang lama hilang karena bergabung dengan Gafatar.
Bahkan ada yang berterima kasih kepada Harian Rakyat Kalbar, lantaran karena berita koran terluas di Kalbar itu, ia akhirnya mengetahui keberadaan adiknya di Kabupaten Kayong Utara. Berkat fasilitasi Jurnalis Harian Rakyat Kalbar, ia pun dapat berkomunikasi dengan adiknya yang telah lama tidak terdengar beritanya.
Jika benar eks Gafatar, mengapa mereka "menutup diri"? Mengapa tidak pernah menghubungi atau berkomunikasi dengan keluarganya. Padahal keluarga selalu mencari keberadaannya.
Pernyataan mantan Ketua Umum Gafatar, Mahful Tumanurung yang mengatakan bahwa mereka telah keluar dari keyakinan atau paham keagamaan Islam mainstream, semakin membuat terang benderang.
Tidak diragukan lagi, Gafatar sejatinya adalah aliran sesat dan menyesatkan yang berkedok Ormas. Sungguh pengakuan terbuka Mahful Tumanurung semakin membuat masyarakat yakin, Gafatar merupakan ajaran menyimpang.
Telah banyak terungkap fakta mengenai Gafatar. Herannya, masih ada orang-orang yang menyalahkan Provinsi Kalbar, khususnya Kabupaten Mempawah, atas pemulangan eks Gafatar ke daerah asalnya.
Bukankah, seharusnya republik ini berterima kasih. Berkat pemulangan ini, eks Gafatar dipertemukan kembali dengan keluarganya yang selama ini mencari. Peristiwa tersebut juga dapat membuka mata Pemerintah Republik Indonesia, agar jangan terlena dengan keberadaan eks Gafatar ini.
Bukan hanya berkaitan dengan stabilitas negara, tetapi juga mengenai pembinaan terhadap eks Gafatar. Baik dalam hal meluruskan akidah yang telah melenceng maupun berkaitan dengan pengenyaman pendidikan anak-anak yang selama ini diabaikan orangtua eks Gafatar.
Warga Kalbar sesungguhnya sangat terbuka. Sudah banyak wilayah di Kalbar menjadi lokasi transmigrasi. Ini membuktikan bahwa masyarakatnya bisa menerima siapapun, kecuali Gafatar. Bukan karena orangnya, tapi dokrin dan ajarannya.