Sunday 9 December 2012

“Beranda Depan” dan Kedaulatan

Jika masuk ke dalam rumah, kita harus terlebih dahulu melewati beranda, makanya beranda rumah pasti dilihat orang dulu. Bahkan, ada yang bilang, beranda mencerminkan isi rumah seseorang. Sehingga, layaklah jika beranda pun kita hias, agar rumah tidak terkesan kumuh.
Beberapa kawasan di Indonesia berbatasan dengan negara tetangga. Apakah kawasan perbatasan ini sudah dihias dan tertata dengan baik?
Lihat saja beberapa kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu - Kalimantan Barat, ternyata ironis, kawasan perbatasan terbilang masih jauh tertinggal dari semua bidang terutama dengan perbatasan jiran. Bahkan masyarakatnya dicap sebagai masyarakat terbelakang, terpencil, dan terisolasi. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Kalimantan Barat, karena tercatat dari data 26 kabupaten yang terletak di perbatasan semua masuk dalam kategori daerah tertinggal.
Jelas saja, pertanyaan kenapa begini kenapa begitu mencuat di kepala banyak orang. Jawabannya, mungkin, karena pemerintah masih cenderung bersifat sentralisasi. Wilayah urban—perkotaan dan sekitarnya—yang terus mendapat perhatian, sementara kawasan perbatasan hanya dipandang sebelah mata atau bahkan sama sekali tidak dipandang. Akibatnya, jelas proses pembangunan hanya bertumpuk di kota. Sementara di kawasan perbatasan, jangankan pembangunan lainnya, bahkan ada daerah yang tidak memiliki akses jalan darat. Untuk ke mana-mana, mereka mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Padahal kawasan perbatasan juga perlu dibangun, agar kesan buramnya dapat disingkirkan.
Khusus perbatasan Indonesia–Malaysia, tidak bisa kita mungkiri, perbedaannya sangat jauh mencolok. Baik dari segi pembangunan, kesejahteraan masyarakatnya, dan sebagainya. Sementara masyarakat kita masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan, masyarakat di sana punya rumah besar gara-gara berdagang dengan rakyat di perbatasan kita itu. Lihat saja, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya masyarakat Indonesia di perbatasan banyak menggunakan produk Malaysia. Jadi ya tidak heran, ketika pemilukada banyak yang golput karena si penusuk surat suara tidak di tempat, mengadu nasib ke negeri jiran guna meningkatkan kesejahteraannya.
Belum lagi masalah keamanan dan kedaulatan Negara. “If you let a bully come in your front yard, he'll be on your porch the next day and the day after that he'll rape your wife in your own bed—Jika Anda membiarkan seorang pengganggu masuk di halaman depan Anda, dia akan berada di beranda rumah Anda di hari berikutnya dan di hari berikutnya lagi dia akan memerkosa istri Anda di tempat tidur Anda sendiri.” Lyndon Baines Johnson (LBJ), Presiden ke-36 Amerika Serikat. Pernyataan LBJ itu jelas masuk akal. Pilihan masyarakat perbatasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ke negara tetangga menggambarkan lemahnya kedaulatan negara ini. Sengkarut rebutan tapal batas dengan negeri jiran, sampai dihina orang-orang negara tetangga di pesta sepak bola baru-baru ini. Belum lagi, obat terlarang yang diselundupkan ke republik ini untuk melemahkan berbagai lapisan generasi. Itu daftar masalah pelik yang merundung “beranda terdepan” kita.
Kembali ke keadaan ekonomi yang tertinggal di wilayah perbatasan. Memang bukan situasi yang sangat khusus, karena keadaan serupa dapat ditemui pula di daerah lain yang bukan perbatasan. Namun wilayah perbatasan jelas mempunyai arti penting tersendiri. Sudah sering kita mendengar pendapat berbagai kalangan tentang arti penting kawasan perbatasan, sehingga berujung pada konsekuensi diperlukannya prioritas lebih bagi pembangunan daerah perbatasan.
Kondisi seperti ini tidak boleh terus berlangsung dan mesti diakhiri. Karena bagaimanapun, masyarakat perbatasan adalah warga negara Indonesia. Mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Jangan pemerintah hanya meminta masyarakat perbatasan untuk mempertebal rasa nasionalisme, sementara negara tidak memedulikan mereka.
Ingat, pemerintah pusat telah mendeklarasikan bahwa kawasan perbatasan adalah beranda terdepan NKRI. Seharusnya, ini angin segar bagi daerah yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Dengan dijadikannya perbatasan sebagai “beranda terdepan NKRI” diharapkan agar gambar buram yang melekat tersebut–kawasan tertinggal, terisolasi, miskin, dan sulit dikembangkan–bisa disingkirkan.
Slogan tersebut memang diimplementasikan pemerintah dengan membentuk Badan Pengelola Perbatasan. Tujuannya tentu agar ada instansi yang fokus mengurus kawasan-kawasan perbatasan di Indonesia ini. Namun perbatasan sebagai “beranda terdepan NKRI” jangan hanya jadi slogan semata, Bung. Mesti ada langkah nyata pemerintah—selain membentuk badan ini itu—yang tentunya memakan anggaran negara untuk memajukan kawasan perbatasan. Agar rumput halaman sendiri sama hijaunya dengan rumput di halaman tetangga.