Sunday 17 August 2014

Lika-Liku Pemilu Indonesia

Sebagai suatu bangsa, Indonesia memiliki perjalanan cukup panjang dan melelahkan. Sebelum berbentuk republik, Indonesia terdiri atas kerajaan-kerajaan. Beberapa di antaranya pernah berjaya di masa masing-masing, seperti Majapahit dan Sriwijaya.
Pasca penjajah bercokol di Indonesia, perjalanan bangsa dikenal Nusantara ini menjadi lebih tidak menentu. Syahdan, semangat perjuangan untuk merdeka pun berkobar di dada sebagian besar kelompok masyarakat Indonesia. Setelah ratusan tahun terjajah, sekitar 350 tahun, barulah Indonesia bisa memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Dengan bentuk pemerintah kembali kepada rakyat (re-publik).
Namun, setelah merdeka, Indonesia tidak bisa serta merta menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai salah satu manifestasi pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Pemilu baru dapat dilaksanakan untuk kali pertamanya pada sepuluh tahun setelah merdeka dari belenggu penjajah, yakni pada 1955. Kala itu, Pemilu diadakan dua kali. Pertama, pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPRD, dan Kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih Anggota Konstituente.
Walaupun dilaksanakan pada saat keamanan negara masih kurang kondusif–lantaran beberapa daerah masih dirundung kekacauan– namun Pemilu ini berlangsung aman. Bahkan disebut-sebut sebagai Pemilu Indonesia yang paling demokratis. Saat itu, Tentara dan Polisi juga memilih.
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada 5 Juli 1971. Pemilu pertama di masa Orde Baru ini diikuti sepuluh Partai Politik (Parpol). Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya (Golkar), Partai Nahdlatul Ulama (PNU), Partai Muslim Indonesia (Parmusi), Partai Nasional Indonesia (PNI), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Pada 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 (UU 3/1975) tentang Parpol dan Golkar, diadakan Penggabungan (Fusi) Partai-partai politik, di mana hanya ada dua Parpol, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya. Fusi Parpol itu menjadi peserta Pemilu hanya tiga, yakni dua Parpol dan satu golongan karya. Mereka mengikuti Pemilu berikutnya pada 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Semua Pemilu di masa pemerintahan Presiden Soeharto atau disebut Pemilu Orde Baru tersebut, semuanya dimenangkan Golkar.
Pemilu berikutnya dilaksanakan ketika runtuhnya rezim Orde Baru pada 1999. Di bawah pemerintah Presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto itu, pesertanya mencapai 48 Parpol. Adapun lima Parpol besar setelah dilakukan Pemilu 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, PPP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Kendati PDI-P meraih suara terbanyak, dengan perolehan suara sekitar 35 persen, namun yang menjadi Presiden RI bukanlah calon dari partai banteng moncong putih tersebut, Megawati Soekarnoputri, lantaran kalah bersaing dengan Calon Presiden dari PKB, Abdurrahman Wahid atau yang lebih kita kenal dengan nama Gus Dur. Penyebabnya, Pemilu 1999 hanya untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD.  Sementara Pemilihan Presiden dan Wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
Pemilu berikutnya dilaksanakan pada 2014. Ini merupakan Pemilu pertama yang memungkin rakyat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Sehingga cara pemilihannya, benar-benar berbeda dari Pemilu-Pemilu sebelumnya. Pada Pemilu sebelumnya, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Pemilu. Selain itu, pada Pemilu 2004 ini, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak dilakukan secara terpisah seperti Pemilu 1999. Pemenangnya, Susilo Bambang Yudhono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK).
Pemilu berikut diselenggarakan pada 9 April 2009, ini merupakan tahun Pemilu untuk Indonesia. Lebih dari 100 juta pemilih telah memberikan suara dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada 8 Juli 2009, masyarakat Indonesia sekali lagi memberikan suara mereka untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan langsung kali kedua sejak Indonesia bergerak menuju Orde Reformasi pada 1998. Jika tidak ada calon yang memperoleh lebih dari 50 persen suara, maka pemilihan babak kedua akan diadakan pada 8 September 2009. Sayangnya, dalam hal kualitas pengelolaan Pemilu, Pemilu 2009 dianggap sangat buruk.
Baru-baru ini, bangsa Indonesia pun telah menggelar pesta demokrasi. Pemilu 2014 digelar dua kali. Pada 9 April 2014 memilih anggota DPR, DPD dan DPRD. Pada Pileg ini, PDI-P berhasil memperoleh suara terbanyak, disusul Partai Golkar dan Gerindra. Setelah anggota Parlemen terpilih, sekali lagi pesta rakyat dilaksanakan. Namun untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, yaitu pada 9 Juli 2014. Ada dua pasangan calon yang bertarung, yaitu Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta. Rekapitulasi perhitungan suara Pimilihan Presiden (Pilpres) ini sudah selesai dan pemenangnya pun sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni Jokowi-JK. Tetapi, masih ada satu proses yang mesti dilalui, yakni gugatan ke MK yang dijalani Prabowo-Hatta.
Terlepas dari siapa yang yang duduk di parlemen saat pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD serta siapa yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu 2014 ini disebut-sebut sebagai Pemilu terburuk dalam sejarah pesta demokrasi Republik Indonesia. Dalam Pileg, kecurangan dianggap begitu kentara, baik itu politik uang (money politic) maupun bentuk-bentuk kecurangan lainnya. Begitu pula dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, juga tidak luput dari kritikan pedas. Kampanye hitam (black campaign), kampanye negatif (negative campaign), dan bentuk-bentuk kecurangan atau pelanggaran dalam Pemilu, menjadi pemberitaan yang banyak kita dengar. 
Melihat panjang Pemilu di tanah air ini, apakah sudah menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi? Sebenarnya, sudah matangkah demokrasi kita? Atau sebaliknya, kita masih belajar berdemokrasi, mengingat masih adanya upaya-upaya kecurangan guna meraih kekuasaan.

No comments:

Post a Comment