Monday 11 February 2013

Sisi Gelap Politik

“Jika syarat masuk surga itu harus masuk partai politik, saya lebih memilih tak mau menjadi anggota partai politik.”

Apakah slamanya (selamanya) politik itu kejam?
Apakah selamanya dia datang tuk menghantam?
Ataukah memang itu yang sudah digariskan?
Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya…

Penggalan bait lagu “sumbang” ciptaan Iwan Fals di atas jelas sindiran terhadap perpolitikan di Indonesia pada saat itu. Nada sinisme tersebut secara gamblang dituangkan Iwan Fals dalam lirik-lirik lagunya. Melalui lagunya, Iwan Fals menceritakan bagaimana bobroknya percaturan politik di tanah air pada masa Orde Baru. Dan saya kira sebagian besar orang sependapat dengan itu.
Masa Orde Baru telah lewat, kini kita memasuki zaman yang katanya reformasi. Lalu bagaimanakah politik saat ini, apakah politik masih kejam?
Politik adalah sarana interaksi atau komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat. Diharapkan program yang akan dilaksanakan pemerintah sesuai dengan keinginan-keinginan masyarakat. Tujuan yang dicita-citakan dapat dicapai dengan baik. Dunia politik dibutuhkan sebagai proses menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat.
Wadah untuk politik tentu partai politik. Sehingga tidak heran bermunculan partai-partai politik. Banyak pula orang berebut ingin masuk partai politik agar bisa menjadi caleg. Apakah sebenarnya tujuan masuk partai politik? Kita tentu berharap mereka yang terjun ke dunia politik untuk berjuang demi rakyat. Bukan malah memiliki niat tersembunyi yang hanya mengejar materi dan kekuasaan semata.
Apa benar di panggung politik sepertinya ada yang tidak beres? Pasalnya nada-nada sinis kerap merecoki dunia politik. Sinisme ini meluas seiring sepak terjang yang dilakukan elite-elite politik itu sendiri. Sudah berapa banyak anggota legislatif yang tersandung kasus korupsi. Kasus yang sama pula banyak menerpa bupati yang notabene adalah kader-kader partai politik.
Seyogianya partai politik dijadikan arena pertukaran gagasan bijak dan perjuangan aspirasi demi kepentingan rakyat kecil. Karena melalui partailah mereka bisa duduk menjadi anggota legislatif. Begitu pula ketika hendak mencalonkan menjadi bupati, walikota, bahkan presiden setidak-tidaknya memerlukan perahu partai selain jalur independen. Bukan sebaliknya sebagai tempat untuk gagah-gagahan, mementingkan pribadi atau golongan, pembohongan publik, atau malah komunitas penggerogot uang rakyat.
Sering kita dengar, kalau tidak ada uang atau modal jangan coba-coba berani menjadi caleg. Itu harus kita akui, karena memang untuk menjadi caleg mesti mengeluarkan modal. Jangan harap tanpa uang, mereka akan dapat duduk di kursi panas legislatif. Karena sangat kecil sekali kemungkinannya.
Saat menjadi caleg seakan memakai topeng. Mereka berlomba-lomba melakukan pencitraan diri maupun partai. Berusaha memberikan kesan yang baik dan simpatik kepada masyarakat. Seolah-olah mereka yang layak dipilih dibandingkan yang lainnya, dengan mengobral janji-janji manis yang belum tentu ditepati ketika sudah terpilih.
Dalam dunia politik katanya tidak ada istilah kawan maupun lawan yang abadi. Sebab bisa saja hari ini berteman, namun besoknya menjadi musuh bebuyutan, begitu pula sebaliknya. Semua tergantung kepentingan saat itu. Belum lagi tudingan-tudingan lainnya yang dilekatkan pada dunia politik dewasa ini.
Citra politik harus diperbaiki. Untuk itu rakyat harus banyak dipertontonkan politik santun. Agar kesan negatif politik dapat dikurangi atau bahkan hilang sama sekali. Ini tentu harus dimulai dari diri pribadi masing-masing politisi, terlebih lagi oleh para elite politik. Karena bagaimanapun dunia politik sangat diperlukan untuk sarana kemajuan negeri ini. Jangan sampai sindiran Presiden ketiga Amerika Serikat Thomas Jefferson beberapa puluh tahun yang silam masih menjadi renungan banyak orang di abad sekarang ini. “Jika syarat masuk surga itu harus masuk partai politik, saya lebih memilih tak mau menjadi anggota partai politik,” sindirnya.