Tuesday 29 January 2013

Ke Badau kok Lewat Malaysia

Kawasan perbatasan saat ini menjadi isu dan menjadi perhatian beberapa pihak. Pemerintah Indonesia berusaha menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda terdepan NKRI. Sayangnya selama ini kawasan perbatasan ibarat daerah “kelas dua”. Pemerintah lebih suka memberikan pembangunan ke wilayah kota. Sementara perbatasan dibiarkan hingga terkesan sebagai daerah tertinggal atau terisolasi. Bahkan pernah diisukan masyarakat perbatasan hendak pindah menjadi warga negara Malaysia.
Setelah menjadi perhatian, kerap pula kawasan perbatasan dikunjungi pejabat-pejabat pusat ataupun provinsi Kalaimantan Barat (Kalbar). Baik dari kalangan eksekutif, legislatif, ataupun instansi lainnya. Baik hanya sekadar meninjau, memberikan bantuan, ataupun melakukan kegiatan bakti sosial. Salah satu kawasan yang kerap mendapatkan kunjungan yaitu Kecamatan Badau.
Tentu perhatian Pemerintah Provinsi Kalbar maupun pemerintah pusat sangat dibutuhkan masyarakat perbatasan. Dengan turun langsung tentu diharapkan mereka dapat melihat sendiri kondisi perbatasan Kapuas Hulu. Sehingga diharapkan dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat membantu meningkatkan pembangunan di kawasan perbatasan.
Bukan kunjungan mereka yang membuat saya tertarik menulis ini, namun proses kedatangannya.
Kebanyakan mereka yang datang ke Badau justru melalui Malaysia. Masuk melalui Bolder Entikong, kemudian langsung muncul lagi melalui Bolder Badau. Padahal lokasi yang dituju sesama negara Indonesia. Mengapa harus masuk dahulu ke negara orang kemudian masuk lagi ke negara sendiri? Pernahkah pejabat Malaysia untuk pergi ke kawasan perbatasan mereka melalui Indonesia?
Menurut hemat saya perlu ditanyakan kembali misi mereka ini datang ke perbatasan. Apakah murni meninjau pembangunan di perbatasan atau hanya sekadar jalan-jalan ke Malaysia? Atau aji mumpung sekalian cuci mata di negara tetangga. Karena saya yakin, ketika melintas Malaysia mereka berkesempatan makan-makan maupun membeli produk-produk di Malaysia, setelah itu baru pulang ke Pontianak.
Dapat dipahami jarak tempuh dari Kota Pontianak ke perbatasan Kabupaten Kapuas Hulu sangat jauh. Dengan roda empat, ke Badau lewat Malaysia jarak tempuh akan lebih pendek dan menghemat waktu. Apalagi jalan di Malaysia mulus, sangat jauh berbeda dengan kondisi dalam negeri. Sepanjang jalan milik negara di Kapuas Hulu sempit dan banyak yang rusak.
Harus dipahami, Kabupaten Kapuas Hulu bukan hanya Kecamatan Badau. Kapuas Hulu memiliki 23 kecamatan dengan luas wilayah 29.842 kilometer persegi. Setidaknya ada enam kecamatan yang berbatasan langsung dengan negeri jiran. Mana bisa merasakan dan melihat langsung kondisi jalan negara serta pembangunan keseluruhan di Kapuas Hulu kalau datang melalui Malaysia?
Bayangkan selama ini masyarakat Kapuas Hulu mesti menempuh perjalanan jauh ketika akan pergi ke Kota Pontianak. Hal inilah yang tidak mau dirasakan pejabat provinsi. Sehingga memilih datang ke perbatasan Kapuas Hulu melalui Malaysia. Mereka seolah-olah tidak mau merasakan seperti yang dirasakan masyarakat Kapuas Hulu.
Pesawat sebagai alternatif transportasi di Putussibau pun tidak terjangkau masyarakat kalangan menengah. Sebab untuk ke Pontianak, penumpang harus merogoh kocek lebih dari satu juta Rupiah. Hal seperti ini pun seharusnya menjadi perhatian Provinsi Kalbar dan pusat. Sebab berbicara perbatasan harus juga berbicara Kapuas Hulu, di mana ibu kota kabupatennya Putussibau. Jangan masuk ke Badau, meloncat lewat Malaysia. Sehingga tidak merasakan dan melihat langsung pembangunan dari Kecamatan Silat hingga ke Putussibau dan selanjutnya dari Putussibau menuju Badau.