Monday 27 May 2013

Pro Kontra Kenaikan BBM Bersubsidi

Sepertinya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi tidak dapat dihindari lagi. Pasalnya Pemerintah Indonesia yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memastikan harga BBM bersubsidi ini akan dinaikkan. Bahkan digadang-gadang kenaikan terjadi pada bulan Juni ini, di mana rencananya Premium naik Rp 2.000 menjadi Rp 6.500 per liter dan solar naik Rp 1.000 menjadi Rp 5.500 per liter.
Sepertinya wacana kenaikan ini ditanggapi biasa oleh masyarakat. Tidak seperti tahun kemarin, di mana banyak aksi demonstrasi sebagai bentuk penolakan rencana kenaikan BBM. Begitu dahsyatnya gelombang protes, ditambah lagi beberapa fraksi di DPR RI yang tergabung dalam Setgab yang awalnya mendukung, namun berbalik arah, akhirnya pemerintah pun melunak. Tanggal 1 April 2012, Presiden SBY tidak jadi menaikkan BBM.
Kini, pemerintah kembali merencanakan untuk menaikkan BBM ini. Bahkan rasanya, kenaikan ini sudah dapat dipastikan. Namun, tampaknya atas rencana ini tidak ada aksi penolakan yang berarti. Apakah saat ini memang masyarakat sudah dapat memahami, karena kenaikan harga tersebut sudah menjadi sesuatu yang wajar dan keharusan?
Rencana pemangkasan subsidi BBM benar-benar menjadi dilema sulit bagi pemerintah. Di satu sisi, jika tak segera dicarikan solusi, beban subsidi terhadap BBM terus mengancam stabilitas Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Jika melihat komposisi subsidi yang ada di APBN pada tahun 2012, subsidi BBM baik yang dikonsumsi langsung oleh kendaraan maupun digunakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), sudah menembus angka Rp 300 triliun. Ini berarti subsidi BBM telah memakan porsi 20 persen dari volume APBN sekitar Rp 1.500 triliun.
Tahun 2013, alokasi subsidi BBM diperkirakan akan meningkat mencapai Rp 320 triliun dari jumlah APBN sekitar Rp 1.600 triliun. Mungkin tahun 2014 beban subsidi bisa saja berada di angka Rp 400 triliun. Untuk itulah, pemerintah bersikukuh pemangkasan subsidi BBM ini mendesak. Apalagi berdasarkan penelitian, ternyata yang menikmati subsidi BBM itu 77 persen orang yang mampu.
Pemerintah pun memahami, kenaikan BBM ini akan memiliki efek domino, karena akan berdampak luar biasa terhadap kehidupan masyarakat luas. Meski nantinya harga BBM bersubsidi harus dinaikkan, namun tetap perlu memerhatikan dampak sosial ekonominya. Sebab seperti biasanya, kenaikan ini pastinya akan membawa imbas pada harga-harga kebutuhan lainnya. Dapat dikatakan BBM naik, barang-barang lain pun ikut naik.
Kondisi ini tentu semakin memberatkan masyarakat, terutama masyarakat kecil. Untuk itulah pemerintah berencana memberikan kompensasi kepada masyarakat kecil, terkait kenaikan BBM ini. Pasalnya Presiden SBY, akan menaikkan harga BBM setelah adanya kepastian persetujuan DPR terkait adanya dana kompensasi yang diajukan pemerintah melalui APBN Perubahan tahun 2013. Sebab tanpa adanya kompensasi, katanya pemerintah kembali akan menunda kenaikan BBM ini.
Untuk itu, saat pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, pemerintah mengalokasikan Rp 12,5 triliun untuk program penanggulangan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur dasar. Dana tersebut terdiri dari program raskin Rp 4,3 triliun, beasiswa masyarakat miskin Rp 7,5 triliun, dan Program Keluarga Harapan (PKH) Rp 700 miliar. Ada juga program bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) Rp 11,6 triliun.
Empat program kompensasi ini tentu baik. Namun program kompensasi-kompensasi ini tidak boleh bocor lagi seperti pengalaman program Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLSM harus tepat guna dan tepat sasaran. Karena merujuk hasil studi dan analisis LP3ES, program BLT pernah mengalami kebocoran sampai sekitar 2,5 persen.
Walaupun banyak yang setuju, namun ada juga yang masih tidak setuju BBM dinaikkan. Mereka menganggap kenaikan itu belum perlu, lantaran pemerintah sebenarnya masih banyak opsi agar subsidi BBM tidak dinaikkan. Di antaranya, selama ini, APBN tidak pernah terserap 100 persen. Anggaran terserap maksimal hanya belanja pegawai. Sementara belanja modal dan barang tidak pernah terserap hingga 100 persen. Mereka yang tidak setuju BBM dinaikkan, juga menilai pengeluaran negara untuk perjalanan dinas dinilai sangat boros. Di mana audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2011 menunjukkan pemborosannya mencapai 20 persen dari total anggaran perjalanan dinas.
Terkait pro-kontra ini, kita masyarakat hanya bisa menunggu. Apakah BBM bersubsidi nanti benar-benar dinaikkan, atau mengalami pembatalan seperti sebelumnya. Namun menurut hemat saya naik atau tidaknya BBM bersubsidi, yang lebih penting masalah ketersediaan BBM itu sendiri. Jangan sampai BBM langka dan akhirnya lebih membuat gejolak di tengah-tengah masyarakat. Karena tidak dapat dimungkiri, BBM saat ini menjadi salah satu kebutuhan pokok yang mendasar bagi kehidupan masyarakat.