Tuesday 7 May 2013

Politik Dinasti

Tidak dapat dimungkiri, partai politik (parpol) merupakan salah satu wadah agar orang terkenal dan dikenal. Apalagi ketika menjadi calon legislatif (caleg), merupakan kebanggaan tersendiri bagi seseorang. Walaupun namanya hanya sekadar pelengkap daftar caleg, di nomor urut paling buncit. Begitu pula ketika mereka duduk di kursi panas legislatif. Ketenaran tentu akan datang dengan sendirinya. Sehingga jalur politik dapat menjadi jalan pintas bagi seseorang menjadi terkenal.
Anggota dewan memiliki wewenang yang besar dalam NKRI. Mereka terlibat dalam penyusunan APBD bagi anggota DPRD dan APBN bagi DPRI. Mereka juga memiliki kewenangan dalam membuat peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Namun yang utama, anggota legislatif akan dekat dengan kemewahan.
Dengan berbagai keuntungan besar didapatkan, tidak heran banyak yang berlomba-lomba menjadi caleg. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berspekulasi dengan mengeluarkan modal yang besar, agar dapat dipilih masyarakat. Parahnya lagi, mereka bersedia menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginan tersebut. Baik melakukan money politic, kontrak politik, atau bahkan dengan cara mengintimidasi masyarakat.
Begitu strategis perannya, masih banyak parpol yang masih menerapkan sistem politik dinasti. Dalam kepengurusan elite parpol dihuni lingkaran keluarga. Akibatnya parpol ibarat kerajaan yang dipegang kendali oleh satu keluarga tertentu. Akhirnya, ketika penyusunan daftar caleg, banyak ditemukan dihuni para kerabat. Baik istri, anak, sepupu, dan lain sebagainya. Hal inilah yang saat ini banyak diributkan oleh pemerhati perpolitikan di tanah air. Maklum saja saat ini, Indonesia sedang memasuki tahapan-tahapan pemilu legislatif. Di mana semua parpol telah mengusulkan daftar bakal caleg ke KPU untuk bertarung di 2014 nanti.
Gambaran ini menunjukkan, seolah-olah parpol milik segelintir elite parpol atau keluarga tertentu. Bebasnya memasukkan keluarga ini mencerminkan mandeknya kaderisasi dan proses rekrutmen oleh parpol. Sehingga tidak jarang, di tingkat parpol saja kerap terjadi gesekan-gesekan sesama pengurus.
Memang, pada prinsipnya tidak ada larangan membangun dinasti politik di satu partai. Namun politik kekerabatan ini dianggap menjadi masalah ketika proses rekrutmen tidak memberikan ruang bagi kader melalui mekanisme yang lazim. Apalagi jika pola rekrutmen kepengurusan strategis dan caleg dilakukan tanpa melalui proses kaderisasi terlebih dahulu di partai. Kondisi ini tentu menggambarkan bahwa parpol sebenarnya tidak memiliki platform kaderisasi yang jelas.
Penempatan caleg yang didasarkan pada dominasi para elite parpol patut diwaspadai. Apa lagi banyak menempatkan keluarga dengan tidak mempertimbangkan kualitas. Hanya lantaran bapak atau ibunya seorang pucuk pimpinan parpol, anaknya diberikan posisi strategis. Padahal pengalaman berpolitik sang anak sangat dangkal. Sementara kader lainnya yang telah membesarkan partai tidak dilirik. Sebaliknya, dinasti politik tidak perlu dipermasalahkan jika diusulkan untuk menduduki jabatan tertentu melalui proses kaderisasi.
Di lingkup parpol saja mengedepankan nepotisme, apa lagi ketika menjadi pejabat negara seperti anggota legislatif. Tentu akan banyak lagi nepotisme-nepotisme lain yang dilakukan. Jadi, tinggal masyarakat sendiri yang menilai parpol dan caleg pada pemilu legislatif 2014 nanti.