Monday 22 April 2013

Emansipasi Kebablasan

Kiprah perempuan dalam sejarah dunia maupun bangsa ini memang mengalami masa-masa suram. Dulu perempuan hanya dianggap kaum kelas dua. Keberadaan perempuan hanya sebagai penghias laki-laki. Perannya dalam kehidupan sangat sedikit, karena hampir semua bidang masih didominasi kaum Adam.
Jangankan di skala nasional, di lingkup rumah tangga saja, perempuan tidak diberikan kehormatan yang sepadan. Sebab sebelum perjuangan perempuan diakui, tugas perempuan hanya berkisar di dapur, sumur dan kasur.
Lambat laun, kaum Hawa bangkit. Slogan emansipasi wanita pun membahana. Perempuan meminta hak yang sama atas dasar kesamaan gender. Tidak hanya mengenai pendidikan, ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya.
Kaum perempuan memperjuangkan kesamaan gender memiliki historis yang panjang. Hingga akhirnya pada setiap tanggal 8 Maret diperingati sebagai hari perempuan internasional. Perayaan ini pertama kali muncul saat kaum perempuan dari pabrik pakaian dan tekstil mengadakan protes pada tanggal 8 Maret 1857 di New York City. Para buruh garmen memprotes terhadap hal yang mereka rasakan tentang kondisi kerja yang sangat buruk dan gaji sangat rendah. Kemudian banyak lagi rentetan-rentetan kejadian, yang akhirnya kesetaraan gender meluas secara sporadis ke semua sektor kehidupan.
Perlakukan diskriminatif terhadap perempuan tidak hanya terjadi di berbagai belahan dunia. Pasalnya pada zaman sebelum kemerdekaan, Indonesia juga kental diskriminatifnya terhadap kaum hawa. Nuansa inilah yang sangat dirasakan RA Kartini, yang ia keluhkan dalam surat kepada teman-temannya di Belanda. Hingga akhirnya RA Kartini dianggap sebagai pelopor emansipasi wanita di Indonesia. Selain dinobatkan sebagai pahlawan nasional, tanggal kelahiran RA Kartini ditetapkan sebagai hari emansipasi wanita Indonesia. Hingga akhirnya setiap tanggal 21 April, kita lebih mengenalnya dengan hari Kartini.
Namun banyak wanita di belahan dunia ini mengartikan emansipasi secara salah kaprah. Seolah-olah semua yang dilakukan laki-laki harus juga bisa dilakukan perempuan. Yang akhirnya menjatuhkan martabat perempuan itu sendiri.
Kebablasan emansipasi wanita salah satunya yang sangat kental, yaitu di bidang olahraga. Bayangkan semua olahraga laki-laki, zaman sekarang ini diborong habis kaum Hawa. Kalau ada sepak bola pria, wanita pun tidak ketinggalan bermain bola. Bahkan yang lebih parah olahraga keras seperti tinju pun digeluti kaum Hawa.
Kebablasan emansipasi lainnya, banyak perempuan yang tidak peduli dengan kehidupan rumah tangganya. Mentang-mentang memiliki karier bagus, tugas utama serta mulia seorang perempuan selaku istri dan ibu diabaikan. Bahkan tidak sedikit seorang perempuan saat ini tidak bisa melakukan pekerjaan dapur. Yang lebih parah lagi mereka enggan menyusui bayinya dan menggantikannya dengan susu bubuk. Semua pekerjaan tersebut tinggal dipercayakan kepada pembantu. Masih banyak lagi yang dilakukan perempuan dewasa ini, yang secara langsung dan tidak langsung menjatuhi kodratnya sebagai kaum yang lembut, anggun dan pengasih.
RA Kartini memperjuangkan emansipasi tanpa menghilangkan kodratnya sebagai perempuan. Hal ini tersirat dalam suratnya kepada Prof Anton dan istrinya pada 4 Oktober 1902: ”Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama,” tulisnya.
Kita sepakat, emansipasi harus diperjuangkan sebagai wujud kesamaan gender. Sehingga hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki setara. Namun pastinya antara perempuan dan laki-laki, tidak lepas dari kodratnya masing-masing.