Wednesday 3 February 2016

Terima Kasih Mempawah

Belakangan ini Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) menjadi pembicaraan hangat di seantero negeri. Berawal dari hilangnya dokter Rica Tri Handayani bersama Balita-nya yang akhirnya ditemukan di Pangkalan Bun, Kalteng. Dari kasus itu, terungkaplah bahwa dokter Rica meninggalkan rumah dan suaminya lantaran bergabung dengan Gafatar. Sejak saat itu bermunculan kasus-kasus orang hilang yang berhubungan dengan Gafatar.
Orangtua, suami, atau istri melaporkan anggota keluarganya hilang karena bergabung dengan aliran sesat dan menyesatkan berkedok Organisasi Kemasyarakat (Ormas) bernama Gafatar.
Maraknya pemberitaan mengenai Gafatar dan sepakterjangnya membuat Kalbar bergejolak. Bermula dari aksi warga di Kabupaten Mempawah yang menolak keberadaan eks Gafatar. Puncaknya, terjadi pembakaran mobil dan kamp eks Gafatar.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mempawah pun akhirnya memulangkan eks Gafatar ke daerah asalnya. Kebijakan ini ternyata diikuti kabupaten/kota lainnya di Kalbar. Mereka khawatir, apa yang terjadi di Mempawah merembet ke daerahnya. Alhasil, sedikitnya 3.000 eks Gafatar dipulangkan dari tanah Kalbar ke daerah asalnya.
Proses evakuasi ini memang memunculkan empati. Lantaran para eks Gafatar terpaksa angkat kaki dari Bumi Khatulistiwa dan kehilangan harta bendanya. Apalagi ada kekhawatiran mereka tidak diterima di kampung halamannya sendiri. Pasalnya, image buruk Gafatar telah melekat di benak sebagian besar masyarakat Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara jelas telah menyatakan Gafatar sesat dan menyesatkan. Fatwa ini dikeluarkan sudah tentu melalui kajian yang mendalam. Apalagi diketahui Gafatar merupakan jelmaan dari aliran al-Qiyadah al-Islamiyah dengan berbagai ajaran sesatnya yang memiliki nabi palsu bernama Ahmad Mushaddeq.
Gafatar juga diyakini memiliki tujuan terselubung di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setidaknya mereka berupaya mendirikan negara dalam negara. Berkedok bergerak di bidang sosial dan ketahanan pangan, Gafatar memiliki enam fase dalam penyebaran alirannya. Yaitu sirran (rahasia), jahran (inklusif), hijrah (berpindah), qital (perang), futuh (kemenangan), dan khilafah (pemimpin).
Bila dicermati secara mendalam, keberadaan Gafatar tidak main-main. Kendati, mengaku telah lama bubar, eksetensinya masih terlihat. Menyatakan telah keluar, tetapi faktanya, simbol-simbol Gafatar masih banyak  dipegang. Mulai dari literatur atau buku-buku, pernyataan sumpah atau janji, dan lain-lain sebagainya. Bahkan di Kabupaten Kayong Utara ada Bupati versi Gafatar.
Kita mesti berterima kasih kepada warga Mempawah. Jika bukan karena mereka, mata kita sulit terbuka. Bisa saja di kemudian hari Gafatar menjadi "batu sandungan" negara.
Atau menjelma sebagai kekuatan besar, yang akhirnya membuat bangsa ini semakin kewalahan mengatasinya. Bukankah keberadaan Gafatar tidak hanya di Kalbar, tetapi juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara.
Tragedi pengungsian eks Gafatar dari Kalbar, jangan hanya dipandang dari sisi kemanusian semata. Ada persoalan besar di balik Gafatar. Benarkah mereka sekedar mantan anggota Gafatar? Secara formalitas mungkin Gafatar telah bubar, tetapi bagaimana dengan doktrin dan ajaran-ajarannya? Jika telah lama bubar, mengapa masih bermunculan kasus-kasus orang hilang yang ditengarai direkrut dan bergabung ke Gafatar?
Permasalahan eks Gafatar ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Kenyataannya, setelah keberadaannya terbongkar di Kalbar, banyak orangtua datang ke Pontianak mencari anggota keluarganya yang lama hilang karena bergabung dengan Gafatar.
Bahkan ada yang berterima kasih kepada Harian Rakyat Kalbar, lantaran karena berita koran terluas di Kalbar itu, ia akhirnya mengetahui keberadaan adiknya di Kabupaten Kayong Utara. Berkat fasilitasi Jurnalis Harian Rakyat Kalbar, ia pun dapat berkomunikasi dengan adiknya yang telah lama tidak terdengar beritanya.
Jika benar eks Gafatar, mengapa mereka "menutup diri"? Mengapa tidak pernah menghubungi atau berkomunikasi dengan keluarganya. Padahal keluarga selalu mencari keberadaannya.
Pernyataan mantan Ketua Umum Gafatar, Mahful Tumanurung yang mengatakan bahwa mereka telah keluar dari keyakinan atau paham keagamaan Islam mainstream, semakin membuat terang benderang.
Tidak diragukan lagi, Gafatar sejatinya adalah aliran sesat dan menyesatkan yang berkedok Ormas. Sungguh pengakuan terbuka Mahful Tumanurung semakin membuat masyarakat yakin, Gafatar merupakan ajaran menyimpang.
Telah banyak terungkap fakta mengenai Gafatar. Herannya, masih ada orang-orang yang menyalahkan Provinsi Kalbar, khususnya Kabupaten Mempawah, atas pemulangan eks Gafatar ke daerah asalnya.
Bukankah, seharusnya republik ini berterima kasih. Berkat pemulangan ini, eks Gafatar dipertemukan kembali dengan keluarganya yang selama ini mencari. Peristiwa tersebut juga dapat membuka mata Pemerintah Republik Indonesia, agar jangan terlena dengan keberadaan eks Gafatar ini.
Bukan hanya berkaitan dengan stabilitas negara, tetapi juga mengenai pembinaan terhadap eks Gafatar. Baik dalam hal meluruskan akidah yang telah melenceng maupun berkaitan dengan pengenyaman pendidikan anak-anak yang selama ini diabaikan orangtua eks Gafatar.
Warga Kalbar sesungguhnya sangat terbuka. Sudah banyak wilayah di Kalbar menjadi lokasi transmigrasi. Ini membuktikan bahwa masyarakatnya bisa menerima siapapun, kecuali Gafatar. Bukan karena orangnya, tapi dokrin dan ajarannya.

No comments:

Post a Comment