Friday 3 October 2014

Hukum Adat Untuk Menjaga Keseimbangan Alam

Putussibau. Diterapkannya hukum adat dalam menyelesaikan persoalan adat bertujuan menjaga keseimbangan antara alam atas dan alam alam. Kalau alam atas terhadap sang pencipta, sementara bawah kepada sesama manusia dan alam seisinya.
"Kalau tidak terjadi keseimbangan tentu alam akan marah dan tuhan juga akan marah, maka mala petaka lah yang akan muncul. Oleh karena itu, orang harus patuh terhadap hukum adat yang telah disepakati," kata Agus Mulyana SH MH, Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kapuas Hulu, kemarin.
Untuk itu, pria yang juga menjabat Wakil Bupati Kapuas Hulu ini mengharap agar hukum adat penerapannya sesuai ketentuan adat istiadat masyarakat setempat, yang berlaku, disepakati secara bersama-sama oleh masyarakatnya serta harus dipatuhi. Ketentuan-ketentuannya yang terlebih dahulu disepakati, bukan ketentuan yang datang seketika. "Sehingga dalam merumuskan hukum adat, kesepakatan awal itu dulu yang penting," ujarnya.
Terkait perimbangan antara hukum adat dan negara, ada hal-hal tertentu tidak bisa mengesampingkan hukum negara. Kalau itu menyangkut pidana, kepentingan umum, dan sebagainya, tidak bisa juga mengabaikan hukum positif. "Misalnya membunuh orang, silakan adat menyelesaikan, tapi pidana tetap berjalan," pungka Agus.
Setiap daerah di Kapuas Hulu bisa saja hukum adanya berbeda. Sebab di Bumi Uncak Kapuas, banyak sub suku serta masing-masing memiliki ketua dan perangkat adat sendiri-sendiri. Ketua dan Perangkat adat inilah yang menentukan adat bersama-sama secara komunal masyarakat setempat dan itu harus dipatuhi. "Kalau ada hukum adat yang dikomersilkan saya katakan itu tidak benar. Itu bertentangan dengan nilai-nilai luhur kita," tegasnya.
Sebab seperti yang dikatakan Agus, tujuan hukum adat untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan agar menyeimbangkan alam atas dan bawah. Bukan dilihat dari besar atau kecilnya nilai, tapi beberapa kesepakatannya dan itu harus dipatuhi. "Kalau kesepakatan itu 10 rupiah, maka yang 10 rupiah. Tapi kalau sebelumnya disepakati 1 milyar ya 1 milyar. Bila diluar ketentuan adat, maka jangan dipatuhi, biar yang bersangkutan memaksa," ungkap Agus.
Hukum adat, kata Agus, ada tingkatannya, hampir sama dengan peradilan negara. Pertama tingkat bawah, biasanya ada di internal sub suku yang bisa diselesaikan ditingkat rumah.  Bila tidak selesai, bisa banding ditingkat desa melalui patih (untuk sub suku dayak iban). "Kalau tidak juga selesai bisa naik ditingkat temenggung. Ditingkat temenggung ini final dan kedua belah pihak mesti menuruti segala keputusannya. Kalau DAD paling-paling hanya bisa membantu memfasilitasi, tapi tidak ada wewenang untuk memutuskan," ucapnya.
Sengketa adat harus melalui proses sidang adat. Sehingga hukum adat tidak bisa ditetapkan sembangan. "Bukan ketika saya ada masalah dengan anda, saya tuntut dan anda bayar. Itu bukan adat, karena sengketa  adat harus melalui proses sidang adat," jelas Agus.
Selaku Ketua DAD Kapuas Hulu, Agus ada meminta kepada masing-masing sub suku supaya melakukan inventarisir tentang kearipan lokal. Baik adat istiadat, budaya, hukum adat, termasuk fungsionaris atau susunan struktur kepengurusan adatnya. Dengan begitu, sehingga orang tau, siapa  yang sebenarnya memiliki wewenang memutuskan ketika terjadi perkara adat. "Saya mendukung dibukukan, karena memang persoalan ditengah-tengah masyarakat adat semakin banyak, sementara daya ingat manusia terbatas. "Mengapa sekarang banyak yang mengarahkan dibuat dalam bentuk buku, karena memang berkaitan dengan daya ingat kita, sehingga ada pegangan kita," tukas Agus.
Tapi, lanjut Agus, buku hanya sebagai acuan, bukan kitab. Apa lagi, hukum adat juga sifatnya elastis dan mesti disesuaikan perkembangan zaman. "Apa bila ada yang tidak termasuk dalam buku, itu pun harus diputuskan ketika ada terjadi perkara adat. Untuk berikutnya, baru dimusyawahkan lagi, karena adanya permasalahan baru yang perlu juga perlu ditambahkan dalam buku. Disepakati, apakah mengikuti keputusan yang pernah ada," tutup Agus.