Tuesday 14 October 2014

Dilema Kabupaten Konservasi

Kabupaten Kapuas Hulu secara nyata telah mengalokasikan sekitar 56,51 persen dari total luas wilayahnya sebagai kawasan lindung atau konservasi. Atas dasar itu, maka Kapuas Hulu pun berani memproklamirkan diri sebagai kabupaten konservasi. Penetapan Kapuas Hulu sebagai kabupaten konservasi dilakukan pada Mei 2003 melalui SK Bupati Nomor 144 Tahun 2003, di masa kepemimpinan Abang Tambul Husin.

Kapuas Hulu memiliki dua taman nasional, yaitu Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) dan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK). Selain itu, juga banyak hutan dan danau lindung.  Secara keseluruhan total luas kawasan konservasi di kabupaten ujung Kalbar ini mencapai sekitar 2 juta hektar. Lebih luas dari kawasan lain seperti pemukiman penduduk dan lainnya.
TNDS seluas 132.000 hektar ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor:34/Kpts-II/1999. Ekosistem TNDS sangat kompleks. Kondisi kawasannya dibatasi oleh bukit-bukit dan dataran tinggi. Sehingga merupakan daerah tangkapan air (water Catchment Area) dan sekaligus sebagai pengatur tata air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas. Dengan demikian, daerah di hilir aliran kapuas sangat tergantung pada fluktuasi jumlah air yang ditampung oleh TNDS di Kapuas Hulu.
Kondisi hutan di TNDS merupakan hutan hujan tropis yang jauh lebih lebat dibandingkan dengan hutan rawa di sekitarnya. Di samping kaya akan flora, kawasan TNDS memiliki sejumlah fauna yang beraneka ragam. Khususnya untuk fauna, kawasan TNDS tercatat sebagai salah satu habitat ikan air tawar terlengkap di dunia. Tercatat 120 jenis ikan, termasuk jenis yang langka serta bernilai tinggi yaitu ikan Arwana. Serta terdapat beberapa jenis spesies yang hanya dimiliki oleh TNDS, dalam artian tidak ditemukan di belahan bumi mana pun. Hal itu pun telah diakui seluruh masyarakat dunia dan TNDS telah ditetapkan sebagai kawasan Lahan Basah (Ramsar Site) oleh konveksi UNESCO.
Sementara TNBK ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor:467/Kpts-II/1995 tanggal 5 September.  Dengan luas 800.000 hektar, TNBK merupakan habitat hutan hujan tropis dan diyakini sebagai paru-paru dunia. Kawasan konservasi Kapuas Hulu lainnya terdiri dari hutan lindung yang terpencar-pencar di setiap kecamatan dengan luas mencapai sekitar 900.000 hektar. Begitu pula dengan danau-danau lindungnya yang begitu banyak. Saat ini saja sudah ada 22 danau lindung yang mendapatkan SK dari Bupati Kapuas Hulu.
Sebagai kawasan lindung atau konservasi, konsekuensinya, Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat Kapuas Hulu tidak bisa menggangu gugatnya. Jangankan menebang, mengambil pohon-pohon atau kayu-kayu yang telah tumbang saja tidak boleh. Apalagi dipakai untuk bercocok tanam. Padahal mata pencarian masyarakat Kapuas Hulu didominasi disektor pertanian dan perkebunan. Celakanya lagi, potensi di kawasan konservasi sangat banyak, termasuk pertambangan. Akibatnya, Pemda dan masyarakat Kapuas Hulu pun tidak bisa mengeksploitasi kawasan konservasi tersebut.
Masyarakat yang hidup di kawasan hutan lindung pun terbilang terjepit. Salah satunya di perhuluan Sungai Kapuas. Jalan darat tidak ada, akses satu-satunya hanya jalur sungai yang mesti melalui jeram. Tak ayal, biaya transportasi pun sangat mahal, hingga jutaan rupiah.
Pemda Kapuas Hulu bukannya tidak mau membangun jalan darat bagi masyarakat perhuluan kapuas ini. Tetapi, terbentur kawasan TNBK yang wewenangnya ada di pemerintah pusat. Sementara izin pinjam pakai lahan tidak mudah, walaupun hanya untuk membangun jalan. Alhasil, hingga kini masyarakat di kawasan tersebut tetap terisolir.
Sudah semestinya Pemerintah Pusat (Pempus) memerhatikan kabupaten konservasi. Komitmen daerah dan masyarakatnya untuk menjaga kelestarian hutan, sudah sepatutnya diapresiasi. Berilah solusi, agar masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan lindung juga dapat merasakan dan menikmati lajunya pembangunan di segala bidang.
Sebagai daerah yang merelakan jutaan hektar luas wilayahnya sebagai kawasan konservasi, seharusnya Kapuas Hulu diberikan kompensasi. Baik oleh Pempus maupun masyarakat dunia. Sebab dengan konsistensinya menjaga hutan, tidak hanya untuk melindungi masyarakat Kapuas Hulu, tetapi juga dunia. Kompensasi inilah yang sering dipertanyakan pejabat maupun masyarakat Kapuas Hulu. Sebab, kompensasi terhadap mereka dinilai relatif belum ada.
Salah seorang pejabat Kapuas Hulu yang pernah menjadi bagian dari tim perumus Kabupaten Konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu, Antonius Rawing, pada 2012 pernah menyatakan ke media massa, bahwa masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu hingga saat ini hanya dijadikan sebagai tukang jaga hutan oleh dunia. Kontribusi masyarakat dunia untuk masyarakat yang tinggal di Kabupaten Konservasi ini tidak ada. Sementara ruang gerak masyarakat untuk menikmati kekayaan yang ada di hutan dibatasi dengan aturan.
Rawing pun mengaku menyesal sudah pernah ikut merumuskan konsep Kabupaten Konservasi. Ini disebabkan kontribusi dunia kepada masyarakat Kapuas Hulu tidak jelas. Walaupun menurutnya tidak ada ruginya menjaga kelestarian hutan.
Perjuangan Pemda dan masyarakat Kapuas Hulu untuk mendapatkan kompensasi terus dilakukan. Bahkan di bawah pimpinan AM Nasir SH, Pemerintah Kapuas Hulu berupaya menggalang kerjasama dengan kabupaten konservasi lainnya, yaitu Kabupaten Sigi – Sulawesi Tengah (Sulteng). Bahkan orang nomor satu di Bumi Uncak Kapuas Hulu tersebut mengusulkan kabupaten-kabupaten konservasi di seluruh Indonesia untuk membentuk asosiasi. Agar secara bersama-sama dapat memperjuangkan kompensasi ke Pempus maupun dunia internasional, karena berkomitmen menjaga hutan dan lingkungannya. Menurut Nasir, selama ini kabupaten konservasi berjalan sendiri-sendiri memperjuangkan kesejahteraan masyarakatnya. Sehingga apa yang menjadi tujuan masih jauh dari harapan. Kalau ada wadah asosiasi diharapkan perjuangan kabupaten konservasi ke Pempus maupun dunia internasional dapat didengar.
Nasir juga memastikan, Pemda dan masyarakat Kapuas Hulu telah berkomitmen menjaga hutan yang telah menjadi kawasan lindung. Tetapi, diakuinya masih banyak masyarakat yang hidup di areal konservasi, kehidupannya masih di bawah garis kemiskinan. Sementara, untuk melakukan pembangunan kepada mereka, kerap terbentur aturan pusat. Sebab di TNDS dan TNBK yang memiliki hak penuh Pempus. Tetapi, bila terjadi persoalan Pemda serta masyaratnya juga yang kena imbasnya.  Salah satu contoh, ketika kawasan TNDS terbakar beberapa waktu lalu, Pemkab Kapuas Hulu mesti menganggarkan sekitar Rp 500 juta, guna memadamkan api.
Untuk itulah, Nasir berharap ada kompensasi Pempus dan masyarakat dunia kepada kabupaten konservasi.  Nasir tidak mau daerahnya hanya sebagai objek penelitian negara luar. Sementara kompensasi atau intensif atas komitmen mereka menjaga hutan, tidak ada. Dia berharap, bagaimana ke depan, dana kompensasi dunia bisa masuk ke kas daerah untuk melakukan pembangunan. Sebab, selama ini, dana-dana yang masuk banyak melalui NGO-NGO.