Monday 15 July 2013

Lapas dan Tingkat Kriminalitas

Kerusuhan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) atau LP Tanjung Gusta Medan-Sumatra Utara pada Kamis (11/7/2013) malam lalu tentu membuat kita terenyuh. Tidak hanya membuat LP menjadi puing-puing akibat terbakar, tapi juga menewaskan tiga narapidana dan dua sipir. Kejadian itu pun mengakibatkan ratusan warga binaan kabur, termasuk narapidana terorisme. Akibatnya tragedi ini menjadi perhatian dan sekaligus polemik di dalam negeri.
Pemicu kerusuhan ini dikabarkan bermula dari protes warga binaan akibat kelangkaan listrik dan air. Namun penyebab utama ditenggarai lantaran narapidana kecewa dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, khusus terkait pengetatan pemberian remisi kepada narapidana korupsi, narkoba dan terorisme.
Terlepas dari akar permasalahan kerusuhan di LP Tanjung Gusta, kalau kita lihat memang LP tersebut sudah over kapasitas. LP yang seharusnya hanya menampung 1.054 orang, tapi dihuni sebanyak 2.594 orang atau kelebihan 247 persen. Akibatnya napi harus tidur berjejalan dan berdesak-desakan. Bahkan permasalahan over kapasitas ini tidak hanya terjadi di LP Tanjung Gusta, tapi hampir diseluruh Lapas kota besar di Indonesia.
Kondisi kelebihan kapasitas seperti ini tentunya kita tidak bisa menyalahkan LP. Pasalnya mereka terpaksa harus menerima narapidana dan tahanan yang dititipkan pada LP. Meski sebenarnya kapasitas LP tidak memungkinkan lagi. Sehingga kejadian di LP Tanjung Gusta ini harus menjadi pelajaran. Karena kalau kondisi ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan tragedi di LP Tanjung Gusta akan menjalar ke Lapas-lapas lainnya.
Penuh sesaknya LP dihuni para napi seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Mengapa? Sebab kondisi ini tentu mencerminkan bahwa banyaknya warga negara Indonesia berbuat kejahatan atau kriminalitas. Penjara seolah-olah bukan momok yang ditakuti. Bahkan tidak sedikit residivis yang sering keluar masuk penjara lantaran kerap mengulangi perbuatan kriminalitasnya.
Jadi, yang harus dipikirkan sekarang bagaimana caranya membuat masyarakat takut berbuat jahat. Ibarat pepatah, lebih baik mencegah dari pada mengobati. Telusuri mengapa masyarakat gemar melakukan kejahatan dan kemudian dibenahi. Sebab tingginya angka kejahatan dikatakan sangat berhubungan erat dengan berbagai faktor sosial dan tingkat kemakmuran. Ini tentu harus menjadi PR pemerintah untuk mengatasinya, agar rakyatnya tidak gemar dan takut melakukan kejahatan. Dan masyarakat yang lain pun hidup dalam ketentraman tanpa dihantui rasa was-was tindakan kejahatan.
Tidak dapat dipungkiri, penjara belum bisa membuat efek jera. Walau pun banyak LP sudah berupaya memberikan pembinaan. Hal ini diperparah lagi dengan adanya indikasi di LP pun belum bersih. Sebab praktek-praktek kriminalitas pun masih kerap terjadi dari dalam LP. Salah satunya yang dapat dilihat dengan terungkapnya berbagai jaringan narkoba yang dikendalikan dari dalam LP.
Penuh sesaknya penjara, sekali lagi jangan membuat kita bangga. Apa lagi sampai memberi apresiasi kepada aparat keamanan, karena berhasil menjebloskan pelaku kejahatan kedalam penjara. Penuhnya orang yang dipenjara sejatinya mencerminkan negara dan aparat keamanan gagal membuat warganya sadar atau taat hukum.