Saturday 21 September 2013

Luas Hutan Kapuas Paling Besar di Indonesia

Putussibau. Kapuas Hulu merupakan salah satu kabupaten yang memiliki persentase luas hutan paling besar di Indonesia. Berdasarkan SK 256/MENHUT Tahun 2000 tentang penunjukan kawasan bahwa ada 80,96 persen atau sekitar 2,5 juta hektar Kapuas Hulu ditetapkan sebagai kawasan hutan.
Diantara 2,5 juta hektar ini ada 1,74 juta hektar atau 56,13 persen dari luas Kapuas Hulu merupakan kawasan konservasi. Hanya 19,04 atau 589.470 hektar sisanya yang bukan kawasan hutan atau APL. "Dengan luas kawasan hutan yang sedemikian besar, maka perlu perhatian serius dari kita semua dalam rangka pengelolaan hutan yang lebih baik di Kapuas Hulu," ujar Wakil Bupati Kapuas Hulu, Agus Mulyana SH MH, saat Pengukuhan Pengurus IKAHUT-UNTAN Kapuas Hulu, Rabu (18/9) di Aula Kantor Bupati.
Menurut Wabup, kondisi hutan nasional dewasa ini telah menjadi keprihatinan banyak pihak didalam negeri maupun masyarakat Internasional. Karena kebijakan dan praktek pengelolaan hutan kurang berkembang bersama dengan pemahaman terhadap nilai sejati hutan itu sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun, hutan dinilai terutama demi kayunya, komoditas lain, dan sebagai wilayah baru bagi lahan produksi pangan, pemukiman, termasuk kandungan mineral yang dihasilkan dibawahnya. "Hal ini telah menyebabkan laju kerusakan hutan telah mencapai tahap keprihatinan bagi kita khusunya selama tiga dasawarsa terakhir. Bahkan kalau terus menerus demikian, diprediksi dalam kurun 20 tahun kedepan, hutan di Indonesia akan habis," kata Agus.
Menurut Wabup, patut disyukuri Kapuas Hulu hanya sedikit dari kabupaten yang memiliki hutan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hutannya relatif masih asri dan alami, karena masih terjaga dengan baik. Sehingga hutan Kapuas Hulu menarik perhatian masyarakat dan dunia, baik dari NGo Internasional dan pemerintah luar negeri.
Sebagaimana diamanatkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintah antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota, dikatakan Agus, jelas disebutkan pembagian urusan pemerintah dibidang kehutanan sebagian besar masih menjadi urusan atau kebijakan pemerintah pusat. Kondisi ini menurut Wabup sangat mempengaruhi kebijakan yang diambil dan dibuat oleh pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan di daerah. Dalam berbagai forum dan pertemuan membahas kehutanan antara pemerintah pusat dan daerah, selalu menjadi bahan diskusi hangat terkait dengan kewenangan ini. Sehingga dalam prakteknya dibeberapa daerah otonomi lainnya, masih ditemukan kebijakan yang diambil oleh pimpinan tidak sejalan dengan aturan tentang kewenangan yang diberikan. "Sehingga kita masih mendengar ada pimpinan daerah yang harus bermasalah karena kebijakan, khususnya dibidang kehutanan. Banyak daerah yang mengkritisi bahwa kewenangan bidang kehutanan sering tidak sejalan dengan otonomi daerah dan terkesan masih sentralistik. Ibarat kepala dilepas, tetapi ekor dipegang. Hal ini tentu berimplikasi kepada tidak optimalnya pengelolaan hutan didaerah," terangnya.
Padahal di era globalisasi, lanjut Wabup, paradigma dan konsep pengelolaan hutan telah berkembang menjadi sangat kompleks. Ketika luas dan potensi hutan makin menurun, kebutuhan sumberdaya hutan makin meningkat. Masalah sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat seperti pengakuan hak-hak adat, pembagian distribusi manfaat hutan makin merebak, serta parameter pengelolaan hutan lestari berkembang dalam perspektif multidimensi. Manjemen hutan lestari atau Sustainable Forest Management (SFM) harus mampu mengakomodir tiga macam fungsi kelestarian, yaitu kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi lingungan dan kelestarian fungsi sosial, ekonomi budaya bagi masyarakat setempat. "Paradigma pengelolaan hutan yang sentralistik dan kurang mengakomidir aspirasi masyarakat akan sering menimbulkan polemik yang justru menjadikan pemerintah daerah ditempatkan dalam posisi yang sulit. Karena dilain pihak itu bukan menjadi kewenangan pemerintah daerah, tetapi daerah dihadapkan dengan masyarakatnya sendiri," paparnya.
Beberapa waktu lalu, sambung Agus, kelompok masyarakat yang diwakili oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dua kesatuan masyarakat hukum adat telah melakukan uji materil terhadap UU Nomor 41/1999 tentang status hutan adat. Fakta ini menunjukkan bahwa marjinalisasi masyarakat, baik dalam hal kewenangan, partisipasi dan distribusi manfaat pengelolaan hutan justru menjadi salah satu sebab timbulnya krisis kehutanan. "Karena itu sangat diperlukan perubahan paradigma pembangunan kehutanan yang lebih menitikberatkan pada sistem pengelolaan hutan yang berbasis pada masyarakat dan ekosistem," ulas Wabup.