Saturday 14 February 2015

Pedara, Ritual Dayak Iban Membangun Betang

Hujan rinyai membasahi rerumputan hijau Dusun Kapar, Desa Senunuk, Kecamatan Batang Lupar. Tapi puluhan warga tampak berpakaian bagus turun ke lapangan yang sudah disiapkan untuk ritual adat Pedara. Sejumlah pemangku dan pemuka adat sudah berkumpul. Laki-laki, perempuan tua muda, dewasa hingga anak-anak berkumpul di sebuah tanah lapang. Ternyata tampak juga Wakil Bupati Kapuas Hulu Agus Mulyana,SH.MH. Rupanya warga mengundangnya, Kamis (22/1) lalu itu untuk melakukan penancapan tiang pertama betang (rumah) panjang. “Kami berencana membangun rumah betang yang baru di sini. Karena rumah betang yang kami tempati sekarang ini sudah lama dan bangunannya sudah mulai lapuk,” tutur Mengiring Panglima Kapar kepada.
Di lahan yang luas itulah akan dibangun betang warga Dusun Kapar. Jaraknya sekitar 500 meter betang yang mereka huni selama ini, di pinggir Jalan Lintas Utara, berseberangan dengan betang lama. Para perempuan sebelumnya sudah menyiaapkan perangkaat upacara. Ada telur ayam, renai, pulut, tumpik, sirih, pinang, daun sedik, tembakau, dan kapur. Tidak ketinggalan pula tuak serta ayam dan babi yang masih hidup.
Para tetua adat duduk bersila di hamparan tikar bamboo. Dua bakul kecil yang disebut ‘persang’ dari anyaman bambu disiapkan. Masing-masing persang diisi telur ayam kampung, renai, pulut, tumpik, sirih, pinang, daun sedik, tembakau, dan kapur. Kemudian ketua adat melafaskan doa dan jampi-jampi sambil memegang ayam kampung. Ayam itu pun disebelih. “Doa dan jampi-jampi dipanjatkan kepada Tuhan, agar pembangunan ini selalu dilindungi,” ujar Mengiring.
Warga mempersiapkan lobang untuk penancapan tiang pertama. Dalam lobang sebelum tiang ditancapkan, dicurahkan tuak. Selanjutnya babi disembelih persis di atas lobang dan tiang yang akan ditancapkan. Wabub Agus Mulyana pun didaulat menancapkan tiang pertama pembangunan betang tersebut. Tiang berupa tongkat kayu belian ditancapkan disusul penancapan tiga tongkat oleh pemuka adat. Diantara tongkat yang tertancap, diikatkan kayu yang tinggi. Gunanya untuk menggantung persang yang telah diisi telur ayam kampung, renai, pulut, tumpik, sirih, pinang, daun sedik, tembakau, dan kapur. “Persang tetap diikat di situ hingga rumah betang ini nantinya rampung. Itu sebagai sesajen untuk roh leluhur agar selalu menjaga bangunan selama pengerjaan,” jelas Mengiring.
Ritual Pedara wajib dilaksanakan, selain melindungi para pekerja dan proyek lancar, bila ditempati nanti akan memberikan keselamatan kepada penghuninya. Betang itu dirancang sebanyak 20 pintu. “Saya tidak tahu untuk suku Dayak lain, tetapi Dayak Iban semua sama ritual yang dilakukan saat akan membangun rumah betang,” tambah Mengiring.
Sebenarnya, tanah di dusun itu seluas dan semampu berlari menentukan batas istilahnya, masih ada. Setiap orang bila ingin membangun rumah sendiri-sendiri tentu tidak kesulitan mencari tanah. Tetapi mereka tetap mempertahankan tradisi rumah betang. “Kapan selesainya betang yang baru ini saya pun belum tau, karena akan dikerjakan secara pelan-pelan. Sebab, kami menggunakan dana pribadi, belum ada bantuan dari pemerintah daerah. Kami berharap ada bantuan dari pemerintah daerah, terutama untuk atapnya,” harapnya.
Betang panjang ini syarat dengan kearifan lokal yang turun temurun sejak ratusan tahun silam. Inilah simbol persatuan, kebersamaan, kekuatan hidup di bumi bersatu dengan alam. Semua penghuni adalah keluarga. “Kami tetap mempertahankan rumah betang karena merupakan peninggalan nenak moyang kami agar selalu berkumpul dalam ikatan keluarga,” papar Mengiring.
Kendati berkeluarga secara keseluruhan, namun ada aturan-aturan yang mesti ditaati. Jangan mencuri, jangan berkelahi dengan sesama, karena siap-siap terkena hukum adat. Dengan adanya aturan-aturan yang ketat inilah, keharmonisan selalu terjaga. “Aturan di rumah betang banyak, apa yang boleh dan tidak boleh. Bila melanggar akan ada sanksinya, mulai dari yang ringan hingga terberat,” ungkap Mengiring.
Wabup Kapuas Hulu mengapresiasi semangat warga. Ini berarti masyarakat tetap kompak mempertahankan tradisi dan adat yang melindungi kehidupan mereka. Agus Mulyana ketika diundang di ritual Pedara, langsung menyanggupinya.
Betang atau rumah panjang merupakan warisan nenek moyang suku Dayak. Rumah yang tak hanya sebagai tempat bereduh, itu juga sebagai tempat berkumpul, berhimpun dan bersatu. Sehingga dalam berbagai persoalan yang ada dapat dipecahkan bersama. “Dengan adanya rumah betang, tidak gampang diserang binatang buas dan musuh. Namun yang penting adalah kebersamaannya, sehingga betang masih tetap kita pertahankan,” kata Agus Mulyana didampingi Ny. Terina Timas Mulyana AMd.
Beberapa tahun lalu rumah betang mulai ditinggalkan karena munculnya sikap individual, privacy, atau bahkan kemakmuran keluarga demi keluarga. Belakangan betang panjang digalakkan kembali. Bahkanwarga di beberapa daerah berlomba-lomba membangun betang. Pemerintah pun membangun rumah betang. “Hakikat budaya rumah betang jangan sampai ditinggalkan. Selain sebagai tempat tinggal bersama, juga bermanfaat untuk menyelesaikan segala persoalan secara bersama-sama. Jangan malah setelah tinggal di rumah betang terjadi perpecahan,” imbau Wabup

No comments:

Post a Comment