Wednesday 7 May 2014

Indonesia Darurat Pedofilia

Mencermati fenomena yang terjadi saat ini tidak salah kalau Indonesia dikatagorikan darurat pedofilia. Sebab hanya dalam beberapa pekan, kasus kekerasan seksual terhadap anak bermunculan. Tidak tanggung-tanggung, jumlah korban aksi bejat pelaku begitu fantastis.
Yang teranyar dan membuat seantero nusantara terenyuh yaitu kelakukan seorang pria bernama Emon di Kota Sukabumi -Jawa Barat yang telah melakukan kekerasan seksual terhadap sekitar 110 anak laki-laki. Padahal sebelumnya kita kita juga baru dihebohkan dengan kasus yang sama di Jakarta International School (JIS). Bahkan dikabarkan dibeberapa daerah lainnya juga terungkap kasus yang sama.
Pedofilia berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘pedo’ yang berarti anak kecil dan ‘phile’ yang berarti dorongan yang kuat atau cinta. Pedofilia merupakan satu dari bentuk penyimpangan seksual yang disebut juga parafilia. Penderita pedofilia memiliki perilaku seksual menyimpang dimana memilih anak-anak dibawah umur sebagai obyek bagi pemuasan kebutuhan seksualnya. Khayalan, dorongan seksual, atau perilaku tersebut menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
Ada beberapa macam pedofilia. Pertama, Pedofilia tipe eksklusif (Fixated), yaitu seseorang yang hanya tertarik pada anak-anak kecil, umumnya tidak memiliki rasa ketertarikan dengan orang dewasa. Mereka kebanyakan seorang laki-laki dewasa dan cenderung menyukai anak laki-laki. Hal ini disebabkan karena mereka tumbuh melalui hubungan yang erat antar sesama anak laki-laki. Pedofilia tipe ini biasanya melakukan aktivitas di tempat-tempat dimana banyak anak laki-laki berkumpul seperti tempat olah raga, atau daerah dekat perumahan, dan lain-lain. Kedua, Pedofilia tipe non eksklusif (Regressed), yaitu seseorang yang tidak hanya tertarik pada anak kecil tetapi pada orang dewasa. Umumnya mereka adalah laki-laki dewasa yang sudah menikah dengan seorang wanita dewasa juga, dan tetap memiliki ketertarikan terhadap anak perempuan berusia antara 8-10 tahun. Mereka memandang anak kecil sebagai pengganti orang dewasa, dan memperlakukan mereka layaknya orang dewasa. Perilaku penyimpangan seksual pertama terhadap anak-anak biasanya terjadi secara mendadak dan tidak direncanakan.
Ketiga, cross sex pedofilia, yaitu seorang laki-laki yang suka menyentuh secara seksual anak perempuan. Biasanya tipe ini termasuk kedalam tipe pedofilia regressed. Mereka biasanya berteman dengan anak-anak perempuan dan perlahan-lahan melakukan aktivitas seksual dengan cara merayu dan bukan dengan jalan memaksa anak tersebut. Aktivitas mereka termasuk menyentuh secara seksual anak kecil, dan menyuruh anak tersebut melakukan hal yang sama terhadap mereka dan kemungkinan melakukan stimulasi oral tetapi mereka jarang sekali melakukan hubungan seksual.
Keempat, same sex pedofilia, yaitu banyak penderita pedofilia yang melakukan hubungan seksual atau memiliki fantasi seksual kepada anak kecil yang berkelamin sama, dan mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan orang dewasa yang berkelamin berbeda, namun mereka menolak jika disebut seorang homoseksual. Umumnya usia anak laki-laki yang rentan dianiaya secara seksual oleh pedofilia tipe ini adalah antara 10-12 tahun. Aktivitas seksual yang biasanya dilakukan berupa meraba-raba tubuh anak, masturbasi, stimulasi oral oleh anak-laki-laki dan seks anal dimana pria dewasa yang berperan aktif.
Kelima, pedofilia perempuan. Walaupun mayoritas penderita pedofilia adalah kaum pria, namun juga dapat ditemukan pada perempuan. Namun demikian penderita pedofilia wanita biasanya tidak terlalu menonjol karena rasa kasih sayang wanita terhadap anak-anak terlihat sebagai sikap keibuan. Anak laki-laki tidak memiliki pandangan negatif bila berhubungan seksual dengan wanita dewasa oleh karena itu tidak ada yang melaporkan jika hal ini terjadi. Jika terdapat pelaporan mengenai pelecehan seksual maka biasanya hal itu terjadi antara anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun dengan seorang wanita berusia 20 tahunan. Wanita tersebut biasanya sudah dikenal baik oleh korban seperti teman dari orang tua korban, tetangga maupun orang yang mengasuh korban sehari-harinya.
Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan orang dewasa menunjukkan negara gagal melindungi generasi penerus bangsanya. Sebab dikhawatirkan anak korban kekerasan seksual pertumbuhannya akan terganggu dan masa depan menjadi suram. Apalagi katanya anak yang menjadi korban kekerasan pedofilia memiliki potensi besar menjadi pelaku bila ia dewasa kelak. Makanya, para korban pedofilia harus mendapatkan perawatan psikologis secara terus menerus.
Kekerasan seksual terhadap anak-anak sudah kerap terjadi di tanah air. Perbuatan bejat tersebut seolah-olah tumbuh subur dengan bermunculnya kasus-kasus yang telah dilaporkan. Diperkirakan kasus serupa sebenarnya lebih banyak lagi, hanya saja tidak ada laporan polisinya. Bahkan kasus kekerasan seksual terhadap anak ini dikatakan sebagai fenomena gunung es.
Berbagai modus yang dilakukan pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Ada dengan bujuk rayu dan iming-iming sesuatu, namun ada juga yang melakukannya dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Yang lebih parah lagi pelakunya adalah keluarga korban dan tinggal dalam satu rumah.
Fenomena kekerasan seksual terhadap anak-anak harus bisa menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Pemerintah lewat Undang-Undang dan hukum di negeri ini harus mampu menjamin agar tidak ada lagi kasus-kasus serupa dikemudian hari. Sementara orang tua harus sanggup melindungi anak-anaknya dari korban para pedofilia.