Sebagai berpenduduk muslim terbesar di dunia, ternyata Negara Indonesia belum mampu menjamin rakyatnya untuk menjalankan ajaran agamanya. Ini dapat dilihat dengan masih banyaknya produk-produk yang belum terjamin kehalalannya. Salah satu yang saat ini ramai diperbincangkan mengenai masih sedikitnya produk obat-obatan yang belum memiliki sertifikat halal. Padahal yang banyak mengkonsumsi obat-obat di negara ini warga muslim.
Menurut LPPOM MUI, di antara 30 ribu obat yang diproduksi sekitar 206 perusahaan di Indonesia, yang telah bersertifikat halal masih sangat sedikit. Dari kelompok obat-obatan, hanya ada lima perusahaan dengan 22 produk. Di kelompok jamu, ada 14 perusahaan yang telah memiliki sertifikat halal dengan 100-an produk. Pada kelompok suplemen, yang telah mengantongi sertifikat halal sebanyak 13 perusahaan dengan sekitar 50 produk. Angka-angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa.
Menurut LPPOM MUI, di antara 30 ribu obat yang diproduksi sekitar 206 perusahaan di Indonesia, yang telah bersertifikat halal masih sangat sedikit. Dari kelompok obat-obatan, hanya ada lima perusahaan dengan 22 produk. Di kelompok jamu, ada 14 perusahaan yang telah memiliki sertifikat halal dengan 100-an produk. Pada kelompok suplemen, yang telah mengantongi sertifikat halal sebanyak 13 perusahaan dengan sekitar 50 produk. Angka-angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa.
Saat ini di DPR RI sedang dibahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal (JPH). Ide ini guna penerapan sertifikasi halal pada semua produk makanan serta minuman dalam negeri, termasuk obat-obatan dan vaksin. Pembahasan RUU JPH ini begitu alot, karena terjadi pro kontra. Yang sangat setuju dengan ini tentu banyak dari kalangan organisasi Islam, terutama MUI. Sementara yang kontra tentu pengusaha. Begitu pula pemerintah masih setengah hati menerima RUU ini.
Pemerintah RI melalui Menteri Kesehatan tampaknya enggan menyetujui bila obat dan produk farmasi lainnya harus memiliki sertifikasi halal. Pemerintah beralasan, produk makanan tidak dapat disamakan dengan obat-obatan. Bahkan Menteri Kesehatan RI melontarkan pernyataan yang mencengangkan, terutama bagi umat Islam. Menurut dia hampir seluruh obat dan vaksin mengandung babi. Walau pun ada yang tidak mengandung babi, tapi katalisatornya mengandung unsur babi. Sehingga tidak bisa dinilai kehalalannya.
Selaku umat Islam, saya tentu sangat terkejut mendengarnya. Ternyata selama ini, saya dan umat Islam lainnya di Indonesia mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung unsur babi. Padahal sudah jelas dalam ajaran Islam, babi itu haram.
Pemerintah melalui Menteri Kesehatan RI mesti bertanggung jawab kepada umat Islam untuk menjelaskan obat-obat mana saja yang mengandung unsur babi. Kesehatan memang penting, tapi menjalankan syariat agama dengan benar jauh lebih penting. Apa artinya jasmani sehat, tapi rohaninya rusak akibat sering mengkonsumsi produk haram.
Pemerintah padahal paham benar bahwa babi haram bagi umat Islam. Walau pun dalam kondisi tertentu, babi boleh dikonsumsi, bila tidak ada alternatif lain. Namun saat situasi normal dan banyak pilihan atau alternatif lain, tentu bagi umat Islam berdosa bila mengkonsumsi babi. Dan zaman sekarang sepertinya kita hidup dengan banyak pilihan. Biarkan lah masyarakat muslim itu sendiri yang menentukan pilihan, apakah mau mengkonsumsi obat berbahan babi atau tidak. Tapi tentu sebelumnya, pemerintah mesti mengumumkan obat-obat mana saja yang mengandung babi dan tidak.
Bukankah Rasulullah pernah berkata “Allah telah menurunkan penyakit dan obat serta menjadikan obat bagi setiap penyakit. Maka berobatlah, dan janganlah berobat dengan benda yang haram”. Mengacu pada hadist tersebut sangat jelas tiap-tiap penyakit ada obatnya. Dan sangat salah besar, jika obat harus mengandung unsur babi. Kecuali ini ada maksud tertentu dari negara-negara kapitalis yang dengan sengaja ingin menodai keyakinan penduduk Islam terbesar di dunia ini.
Kalau dicermati lebih jauh, sebenarnya setifikasi halal tidak hanya melindungi konsumen, tapi juga menguntungkan bagi produsen. Bila suatu produk sudah dilabeli sertifikasi halal, masyarakat jadi tidak ragu-ragu untuk mengkonsumsinya. Malah suatu produk akan rugi, bila tidak memiliki label halal, karena tidak dipercayai masyarakat muslim. Untuk itu, bila selama ini hanya kesadaran pengusaha, maka sudah seharusnya mulai saatnya setiap produk makanan, minuman serta obat wajib memiliki sertifikat halal.
Rasa-rasanya kita pun tidak habis pikir, ada dokter atau pun rumah sakit beranggapan akan kesulitan melayani pasien bila obat-obatan harus memiliki sertifikasi halal. Sebagai umat beragama pastinya menyadari kematian bukan ada ditangan dokter, tapi semua kehendak Allah. Begitu pula kesembuhan seseorang dari sakitnya, bukan semata-mata berkat obat-obatan dan dokter atau tenaga medis lainnya. Dokter dan obat yang dikonsumsi hanya lah perantara kehendak Allah untuk menyembuhkan seseorang.
Dalam banyak kasus, tidak sedikit seseorang meninggal dunia akibat sakitnya, walau pun ditangani dokter dan selalu mengkonsumsi obat. Bahkan dibeberapa kasus, banyak pula orang sembuh dari sakitnya ketika mengkonsumsi obat-obat herbal atau tradisional. Padahal sebelumnya berobat ke rumah sakit dan mengkonsumsi obatnya, pasien tidak sembuh-sembuh. Jadi intinya, dokter dan rumah sakit jangan berpikiran kesembuhan pasien lantaran penanganan dan obat-obatan yang diberikannya.
Seharusnya rumah sakit dan para dokter di Indonesia bisa berkaca ke negara India. Mengapa? Karena salah satu rumah sakit di negara berpenduduk agama Hindu terbesar di dunia tersebut berani memberikan pelayanan sertifikasi halal kepada pasiennya. Rumah sakit ini bernama Global Health City (GHC), terletak di dekat pertigaan Camp Road dan Medavakkam Road, Chennai, ibu kota negara bagian Tamil Nadu. Walau pun baru sekitar empat tahun beroperasi, rumah sakit ini termasuk ramai pengunjung. Selain pasien muslim lokal, banyak pula warga asing yang berobat di rumah sakit itu. Pasien asing ditempatkan di International Patients Assistance Desk. Konon, penyebabnya, adanya sertifikat halal yang diperoleh GHC.
GHC memilih sertifikasi halal untuk membuat pasien muslim tenang saat berobat di India yang selama ini dikenal sebagai negara Hindustan. Pihak GHC menilai pasar menginginkan adanya kepastian hukum dalam Islam bagi umat muslim. Pasalnya selama ini, pasien muslim asing sempat resah dengan kehalalan makanan yang disajikan pihak rumah sakit. Di samping itu, pasien maupun keluarganya kerap bingung menentukan arah kiblat untuk salat.
Masukan demi masukan diterima pengelola GHC. Pihak rumah sakit akhirnya merapatkan dan memutuskan untuk mencoba menghadirkan ketenangan bagi pasien melalui label halal. Sertifikat halal sangat mengurangi beban psikologis pasien. Mereka tidak lagi berpikir tentang makanan yang dimakan apakah sudah sesuai dengan kaidah Islam atau belum. Faktor psikis ini dapat memengaruhi penyembuhan pasien secara tidak langsung.
Langkah rumah sakit untuk mengurus dan mendapatkan sertifikat halal pada 2012 ini bisa dikatakan tepat. Rumah sakit pertama di India yang mendapat label sertifikat halal itu mampu menarik banyak pasien muslim, baik dari dalam maupun luar negeri. Sejak adanya sertifikat halal tersebut jumlah pasien meningkatkan mencapai 75 persen. Baik pasien dari India maupun internasional. Untuk meyakinkan pasien, bukti adanya sertifikat halal itu sengaja ditunjukkan secara terbuka dengan dipajang di lorong ruang rawat inap pasien internasional. Di sekitarnya dipajang pula foto-foto pasien dari berbagai negara. Dengan begitu, pasien muslim yang masuk bisa merasa tenang karena apa yang diterima halal, tidak menyimpang dari kaidah agama Islam.
Alangkah malunya negara Indonesia. Padahal berpenduduk muslim terbesar di dunia, tapi tidak mau atau malah tidak berani menjamin masyarakatnya untuk mengkonsumsi obat halal. Bila negara yang penduduk muslimnya minoritas berani, mengapa kita tidak. Apalagi memperoleh produk halal bagi setiap muslim adalah hak konstitusional, yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya mampu memfasilitasi masyarakat dalam menjalankan syariat agamanya, termasuk dalam mengkonsumsi obat-obatan yang terjamin kehalalannya. Karena umat Islam hanya membutuhkan obat halal.