Monday, 22 October 2012

Tak Ada Pelestarian, Sarang Walet Kapuas Hulu Menipis

Putussibau. Produksi sarang walet di Kapuas Hulu terancam punah akibat kurang terjaga habitat sarangnya di goa-goa dalam hutan Uncak Kapuas. Harganya yang bervariasi terus merosot disaingi sarang walet rumah (SWR) yang lebih berkualitas.
“Di Kapuas Hulu sendiri harga sarang walet bervariasi, tergantung dari gua mana. Yang termahal atau berkualitas tinggi dari Gua Sarai dan Gua Suwak, sekitar Rp 4,5 juta/kg. Kualitas standar dari Gua Bilatung sekitar Rp 3,6 juta/kg,” tutur Akuang, produsen sarang walet gua.
Sarang walet Gua Sarai mahal karena kering, tebal, tidak banyak bulu dan kaki. Kurangnya pelestarian menyebabkan produksi sarang dari tahun ke tahun menipis. Padahal liur emas mahal harganya dan permintaan luar negeri kian meningkat.
Menekuni bisnis sarang walet sejak 1994, Akuang memiliki tiga gua yaitu Gua Kolam, Gua Lesung, dan Gua Sarai. Tiga gua itu dimiliki secara perkongsian dengan beberapa orang atau saham. “Pada 1994 di Kapuas Hulu sedang jayanya sarang burung walet. Namun kini terus menyusut,” ujarnya.
Selama ini rata-rata sarang burung walet dari Kapuas Hulu dan bahkan Kalbar diekspor ke Malaysia, sebagai satu-satunya pembeli terbesar saat ini. Bahkan permintaan akan sarang ini terus meningkat. Hanya saja produksi terus merosot.
“Kebanyakan langsung dibawa ke Malaysia melaui Entikong. Kalau jual ke jiran rata-rata seharga RM 1.500-RM 1.800. Dibandingkan tahun sebelumnya harga sarang walet jauh menukik akibat keracunan di Taiwan,” tukas Akuang.
Dulu untuk Gua Sarai dua bulan sekali bisa panen sarang sekitar 360 kg, kini hanya sekisar 120 kg saja. Sedangkan di Gua Kolam dan dan Gua Lesung saat ini masing-masing hanya menghasilkan sekitar 7 kg dan 3 kg saja sekali panen selama dua bulan.
“Pajak per kilogram sarang walet antara Rp 50 ribu–Rp 75 ribu. Pajak ini dibayarkan ke Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Kapuas Hulu. Karena, agar bisa dibawa ke luar mesti ada izin dari Disbunhut,” tandasnya.
Karena satu gua walet dimiliki banyak orang, maka sistem panennya bergiliran dua bulan sekali. Berapa pun hasilnya dengan jadwal dua bulan sekali mesti panen, kemudian digantikan orang lain yang memiliki saham untuk memanen. Akibatnya sarang tersebut dipaksakan dipanen.
“Berkurang karena disebabkan tidak adanya pelestarian terhadap burung walet. Sebab dua bulan sekali panen di mana sebelum anak netas atau pandai terbang sarang sudah dipanen. Sementara induk walet semakin tua dan akhirnya mati. Semestinya yang bagus satu tahun baru panen, sampai anak walet bisa terbang,” jelasnya.
Untuk bisa memanen sarang burung walet tidaklah gampang. Penuh perjuangan dan rintangan yang dihadapi. Kebanyakan ditempuh menggunakan jalur sungai. Setelah itu, berjalan berhari-hari dengan menembus hutan dan mendaki gunung atau bukit. Bahkan nyawa sebagai taruhannya.
Biasanya begitu jadwal panen orang lain selesai, pemilik saham lainnya langsung menuju lokasi gua dengan membawa beberapa anak buah dengan segala perlengkapan dan bekal selama dua bulan untuk menunggu gua itu sampai dipanen dua bulan berikutnya.
Kalau tidak begitu, dikhawatirkan dicuri orang. Makanya tidak heran untuk satu trip (dua bulan) untuk menunggu selama panen pemilik biasanya mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Untuk satu orang penjaga gua saja Rp 3,5 juta per trip.
Ternyata kualitas dan harga sarang burung walet gua, masih kalah dengan sarang walet rumahan. Ini lantaran walet rumahan menghasilkan sarang yang bersih. Akuang memprediksi bila tidak dilestarikan lima tahun mendatang sarang walet gua akan habis. “Sarang walet ini diburu pembeli untuk dikonsumsi karena berkhasiat untuk kekuatan jantung, awet muda, minuman kemasan kaleng, dan lainnya,” tuntas Akuang.