Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi kerap menjadi polemik di negeri
ini. Kebijakan yang katanya untuk masyarakat kecil ini, justru lebih
banyak dinikmati masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Ketimbang membebani anggaran negara dan tidak tepat sasaran, sudah
sewajarnya BBM bersubsidi dihapuskan. Otomatis harganya di tingkat
masyarakat akan naik. Bila tidak segera dinaikkan, tentu akan semakin
membebani APBN.
Namun, bila harga BBM dinaikkan, dikhawatirkan akan menyengsarakan rakyat. Sebab, dapat dipastikan harga komoditas lain ikut naik. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM berdampak pada meroketnya harga beberapa komoditas, seperti yang telah terjadi selama ini.
Namun, bila harga BBM dinaikkan, dikhawatirkan akan menyengsarakan rakyat. Sebab, dapat dipastikan harga komoditas lain ikut naik. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM berdampak pada meroketnya harga beberapa komoditas, seperti yang telah terjadi selama ini.
Dampak inilah yang mendorong timbulnya polemik ketika wacana kenaikan
harga BBM digulirkan. Hal itu terjadi berulang-ulang kali. Saat ini,
polemik itu mencuat kembali.
Mencuatnya kembali wacana kenaikan BBM ini, setelah Presiden
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengadakan pertemuan empat mata
dengan Presiden Terpilih Joko Widodo (Jokowi) di Nusa Dua, Bali, Rabu
(27/8) lalu.
Pertemuan untuk membahas transisi pemerintah itu, ternyata juga
berisikan diskusi rencana kenaikan harga BBM. Presiden Terpilih Jokowi
meminta Presiden SBY untuk menaikkan harga BBM menjelang akhir masa
jabatannya.
Mendapat permintaan seperti itu, SBY pun menolaknya dengan bahasa
yang sangat jelas dan terukur, yakni bahwa saat ini momennya tidak tepat
untuk menaikkan harga BBM.
Setidaknya, empat alasan SBY bersikukuh tidak mau menaikkan harga
BBM. Pertama, akan menambah beban masyarakat. Kedua, Pemerintahan SBY
telah beberapa kali menaikkan harga BBM, yakni pada 2005 naik 140 persen
dan 2013 naik 33 persen. Ketiga, dalam waktu dekat ada kenaikkan harga Elpiji (LPG), bila
dibarengi dengan kenaikan harga BBM otomatis masyarakat akan semakin
menderita. Dan Keempat, kenaikkan BBM akan memacu inflasi.
Selain alasan-alasan tadi, tentu SBY tidak mau mengambil kebijakan
yang tidak populer dengan menaikkan harga BBM di masa akhir jabatannya.
Menaikkan harga BBM tentu akan menurunkan elektabilitasnya sebagai
pemimpin negara. Mungkin SBY ingin “khusnul khatimah”.
Karena permintaanya ditolak mentah-mentah, Jokowi pun mengisyaratkan
siap menaikkan harga BBM bila nanti dilantik. Rencana ini, bahkan
didukung Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP).
Masih segar dalam ingatan kita, tatkala BBM ini akan dinaikkan SBY,
PDIP yang paling getol dan lantang menolaknya. Partai tempat Jokowi
bernaung tersebut beranggapan masih banyak opsi lain. Sehingga tidak
perlu BBM dinaikkan.
Saking kerasnya menentang rencana kenaikkan BBM yang dilakukan
Pemerintahan SBY, Fraksi PDIP di Senayan pun pernah meninggalkan sidang
(walk out) saat pembahasan rencana kenaikkan BBM tersebut.
Mungkin karena konsistensinya menolak kenaikkan BBM inilah, akhirnya
PDIP lebih diterima masyarakat. Tolok ukurnya, partai berlambang Banteng
Moncong Putih ini meraih suara tertinggi saat Pemilihan Legislatif
(Pileg) lalu dan sukses menghantarkan kadernya, Jokowi menjadi orang
nomor satu di negeri ini.
Wacana kenaikkan BBM memang kerap dijadikan komoditas politik untuk
meraih simpatik rakyat. Atas nama rakyat, mereka yang berseberangan
pandangan politiknya tentu akan menolak kebijakan tersebut.
Contoh konkretnya dapat dilihat bagaimana PDIP –saat di luar kabinet
Pemerintahan SBY–dengan segala upaya menolak kebijakan kenaikkan BBM.
Walaupun saat itu, Pemerintahan SBY menganggap, kenaikkan BBM merupakan
hal wajar dan perlu.
Sebaliknya, saat ini malah PDIP yang getol memperjuangkan kenaikkan
BBM. Tentu alasan yang digunakan pun sama seperti saat SBY menjabat,
demi menyelematkan APBN.
Bukankah lebih baik, Jokowi yang merupakan pesuruh partai mencoba
opsi yang mereka gembar-gemborkan dahulu, saat menolak kenaikkan BBM di
era SBY. Bukan malah mengambil kebijakan serupa.
Kalau untuk menekan defisit anggaran dengan menaikkan harga BBM,
tentu semua presiden bisa melakukannya. Lalu apa bedanya dengan
pergantian presiden yang banyak menelan biaya?.
Bukankah pemerintahan baru nanti dituntut kreatif mencari solusi bagi
permasalahan bangsa, termasuk persoalan BBM ini. Jadi, kita tunggu
saja, apakah Pemerintahan Jokowi nanti benar-benar menaikkan harga BBM
atau ada opsi lain yang dilakukan.
No comments:
Post a Comment