Friday, 8 March 2013

Dominasi Malaysia di Beranda NKRI

Sebagai beranda depan NKRI, seharusnya kawasan perbatasan lebih diperhatikan. Tidak hanya infrastruktur, tapi juga berbagai sendi kehidupan masyarakatnya. Sebab wajah kawasan perbatasan yang paling dekat dilihat negara tetangga.
Saya tidak tahu kondisi perbatasan daerah lain, tapi sedikit banyak saya paham kondisi perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar. Di berbagai sendi kehidupannya, mereka masih ketergantungan dengan negara tetangga Malaysia. Berbagai produk negeri jiran sangat mudah kita temukan di kawasan perbatasan. Dan masyarakat perbatasan pun lebih memilih produk Malaysia daripada asal negeri sendiri.
Kondisi ini tentu sangat kita sayangkan. Tapi kita juga tidak bisa menyalahkan masyarakat perbatasan. Mengingat produk-produk negeri tetangga sangat mudah didapatkan dengan harga yang lebih terjangkau. Tidak seperti produk dalam negeri yang harganya relatif mahal lantaran sulit didatangkan dari Pontianak. Begitu pula dengan mobil Malaysia, seliweran di kawasan perbatasan.
Alasan lain masyarakat banyak menggunakan produk Malaysia karena mutu atau kualitasnya lebih terjamin. Sampai-sampai beras pun mereka lebih memilih dari Malaysia. Alasannya, selain murah, kualitasnya pun lebih terjamin. Ini hanya sebagian kecil produk Malaysia yang digunakan masyarakat perbatasan Indonesia. Karena masih banyak lagi produk-produk konsumtif milik Malaysia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehari-hari.
Dominasi produk-produk Malaysia ini bahkan sempat diakui Kabid Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Kapuas Hulu. Berdasarkan hasil survei mereka daerah perbatasan sekitar 85 persen masih dikuasai produk-produk Malaysia. Setidaknya produk Malaysia ini beredar di lima kecamatan di Kapuas Hulu. Meliputi Kecamatan Badau, Puring Kencana, Empangan, Batang Lupar, dan Embaloh Hulu. Maraknya peredaran produk Malaysia di perbatasan karena pedagang lebih mudah mendapatkannya. Daerah mereka dekat dengan perbatasan Malaysia. Bahkan bila dibandingkan ke ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, jaraknya lebih dekat dengan wilayah Sarawak.
Pengaruh Malaysia terhadap masyarakat perbatasan bukan hanya pada produk-produk konsumtif saja. Bidang komunikasi dan informasi pun dikuasai Malaysia. Untuk menangkap siaran televisi Malaysia, masyarakat tidak perlu repot-repot membeli parabola, karena cukup dengan antena biasa. Sementara ketika masyarakat ingin menonton siaran televisi nasional mereka harus membeli parabola lagi. Begitu pula dengan radio, milik Malaysia lebih mengudara. Kenyataan ini juga pernah diakui Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kabupaten Kapuas Hulu.
Ketergantungan masyarakat perbatasan terhadap negara kerajaan tersebut bahkan tidak habisnya. Untuk menopang kehidupan sehari-harinya, tidak sedikit mereka kerja ke negeri tetangga. Mereka menganggap penghasilan kerja di Malaysia lebih menjanjikan daripada dalam negeri. Begitu pula dengan berobat, masih ada dari mereka yang memercayakan kesehatannya kepada rumah sakit di Malaysia.
Begitu pengaruhnya Malaysia terhadap mereka, tidak heran di perbatasan masih banyak menggunakan dua mata uang ketika bertransaksi jual beli. Selain Rupiah, mereka pun sudah terbiasa menggunakan Ringgit. Lebih parah lagi, masalah waktu pun masih ada yang berpatokan dengan waktu Malaysia. Terutama orang-orang tua, bila mereka mengatakan jam 08.00, itu artinya jam 07.00 di Indonesia. Penggunaan waktu zona Malaysia ini lantaran masyarakat perbatasan banyak bekerja di Malaysia.
Tidak hanya masyarakat saja yang ketergantungan dengan Malaysia. Bahkan PLN yang notabene milik Pemerintah RI untuk melayani kebutuhan masyarakat perbatasan akan listrik pun mesti beli ke Malaysia. Mereka beralasan kebijakan tersebut diambil karena lebih efisien dan cepat. Sehingga tidak perlu pusing-pusing lagi membangun pembangkit listrik dan menyediakan bahan bakarnya. Bahkan untuk melayani masyarakat perbatasan akan listrik yang terus meningkat, PLN berencana kembali membeli listrik Malaysia atau untuk penambahan dayanya.
Memang setelah dijadikan sebagai beranda depan NKRI, kawasan perbatasan mulai tampak beberapa pembangunan. Namun bukan hanya pembangunan fisik yang mesti dilakukan. Karena pembangunan nonfisik lebih penting. Baik ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya juga harus mendapatkan perhatian serius. Bagaimana membuat mental masyarakat perbatasan agar tidak ketergantungan dengan Malaysia.
Apalagi perbatasan akan berkaitan dengan negara kesatuan. Jangan hanya masyarakat perbatasan dituntut memiliki jiwa nasionalisme, namun kepedulian pemerintah terhadap mereka minim. Ibaratnya bila ingin dicintai, maka cintailah orang lain.
Masyarakat perbatasan butuh peningkatan kesejahteraan. Bila dari segi ekonomi mapan, otomatis mereka akan kompak dan tidak akan terpengaruh-pengaruh dari luar negeri tetangga. Jangan beranda terdepan NKRI, hanya slogan semata tanpa ada implementasinya di lapangan.
Tulisan ini diharapkan pemerintah pusat lebih peduli terhadap perbatasan. Jangan sampai masyarakat perbatasan menganggap Malaysia yang lebih peduli terhadap mereka daripada negaranya sendiri. Ujung-ujungnya masyarakat perbatasan berbondong-bondong ingin menjadi warga negara Malaysia. Yang akhirnya akan membuat pemerintah pusat kebakaran jenggot.