Kawasan perbatasan saat ini menjadi isu dan menjadi perhatian
beberapa pihak. Pemerintah Indonesia berusaha menjadikan kawasan
perbatasan sebagai beranda terdepan NKRI. Sayangnya selama ini kawasan
perbatasan ibarat daerah “kelas dua”. Pemerintah lebih suka memberikan
pembangunan ke wilayah kota. Sementara perbatasan dibiarkan hingga
terkesan sebagai daerah tertinggal atau terisolasi. Bahkan pernah
diisukan masyarakat perbatasan hendak pindah menjadi warga negara
Malaysia.
Setelah menjadi perhatian, kerap pula kawasan perbatasan dikunjungi pejabat-pejabat pusat ataupun provinsi Kalaimantan Barat (Kalbar). Baik dari kalangan eksekutif, legislatif, ataupun instansi lainnya. Baik hanya sekadar meninjau, memberikan bantuan, ataupun melakukan kegiatan bakti sosial. Salah satu kawasan yang kerap mendapatkan kunjungan yaitu Kecamatan Badau.
Setelah menjadi perhatian, kerap pula kawasan perbatasan dikunjungi pejabat-pejabat pusat ataupun provinsi Kalaimantan Barat (Kalbar). Baik dari kalangan eksekutif, legislatif, ataupun instansi lainnya. Baik hanya sekadar meninjau, memberikan bantuan, ataupun melakukan kegiatan bakti sosial. Salah satu kawasan yang kerap mendapatkan kunjungan yaitu Kecamatan Badau.
Tentu perhatian Pemerintah Provinsi Kalbar maupun pemerintah pusat
sangat dibutuhkan masyarakat perbatasan. Dengan turun langsung tentu
diharapkan mereka dapat melihat sendiri kondisi perbatasan Kapuas Hulu.
Sehingga diharapkan dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat
membantu meningkatkan pembangunan di kawasan perbatasan.
Bukan kunjungan mereka yang membuat saya tertarik menulis ini, namun proses kedatangannya.
Kebanyakan mereka yang datang ke Badau justru melalui Malaysia. Masuk
melalui Bolder Entikong, kemudian langsung muncul lagi melalui Bolder
Badau. Padahal lokasi yang dituju sesama negara Indonesia. Mengapa harus
masuk dahulu ke negara orang kemudian masuk lagi ke negara sendiri?
Pernahkah pejabat Malaysia untuk pergi ke kawasan perbatasan mereka
melalui Indonesia?
Menurut hemat saya perlu ditanyakan kembali misi mereka ini datang ke
perbatasan. Apakah murni meninjau pembangunan di perbatasan atau hanya
sekadar jalan-jalan ke Malaysia? Atau aji mumpung sekalian cuci mata di
negara tetangga. Karena saya yakin, ketika melintas Malaysia mereka
berkesempatan makan-makan maupun membeli produk-produk di Malaysia,
setelah itu baru pulang ke Pontianak.
Dapat dipahami jarak tempuh dari Kota Pontianak ke perbatasan
Kabupaten Kapuas Hulu sangat jauh. Dengan roda empat, ke Badau lewat
Malaysia jarak tempuh akan lebih pendek dan menghemat waktu. Apalagi
jalan di Malaysia mulus, sangat jauh berbeda dengan kondisi dalam
negeri. Sepanjang jalan milik negara di Kapuas Hulu sempit dan banyak
yang rusak.
Harus dipahami, Kabupaten Kapuas Hulu bukan hanya Kecamatan Badau.
Kapuas Hulu memiliki 23 kecamatan dengan luas wilayah 29.842 kilometer
persegi. Setidaknya ada enam kecamatan yang berbatasan langsung dengan
negeri jiran. Mana bisa merasakan dan melihat langsung kondisi jalan
negara serta pembangunan keseluruhan di Kapuas Hulu kalau datang melalui
Malaysia?
Bayangkan selama ini masyarakat Kapuas Hulu mesti menempuh perjalanan
jauh ketika akan pergi ke Kota Pontianak. Hal inilah yang tidak mau
dirasakan pejabat provinsi. Sehingga memilih datang ke perbatasan Kapuas
Hulu melalui Malaysia. Mereka seolah-olah tidak mau merasakan seperti
yang dirasakan masyarakat Kapuas Hulu.
Pesawat sebagai alternatif transportasi di Putussibau pun tidak
terjangkau masyarakat kalangan menengah. Sebab untuk ke Pontianak,
penumpang harus merogoh kocek lebih dari satu juta Rupiah. Hal seperti
ini pun seharusnya menjadi perhatian Provinsi Kalbar dan pusat. Sebab
berbicara perbatasan harus juga berbicara Kapuas Hulu, di mana ibu kota
kabupatennya Putussibau. Jangan masuk ke Badau, meloncat lewat Malaysia.
Sehingga tidak merasakan dan melihat langsung pembangunan dari
Kecamatan Silat hingga ke Putussibau dan selanjutnya dari Putussibau
menuju Badau.