Berbagai metode kampanye dilakukan saat pemilihan presiden, kepala
daerah, maupun legislatif. Mulai tatap muka, dialogis, hingga kampanye
terbuka dengan pengerahan massa. Bahkan hingga kini kampanye terbuka
dengan model pengerahan massa secara besar-besaran masih dilakukan.
Padahal efektivitas model kampanye seperti ini kerap dipertanyakan.
Model kampanye seperti ini kebanyakan menghadirkan hiburan musik dan tidak jarang menghadirkan artis ibu kota. Akibatnya panitia tentu sibuk mempersiapkan pentas megah, padahal belum tentu sebagian massa yang datang sebagai pendukungnya.
Model kampanye seperti ini kebanyakan menghadirkan hiburan musik dan tidak jarang menghadirkan artis ibu kota. Akibatnya panitia tentu sibuk mempersiapkan pentas megah, padahal belum tentu sebagian massa yang datang sebagai pendukungnya.
Fenomena yang ada, terutama di daerah-daerah yang tingkat ekonomi
rendah, kampanye terbuka sebagai hiburan tersendiri bagi masyarakat.
Mereka rela berbondong-bondong datang dalam kampanye terbuka hanya untuk
menonton hiburan atau artis, bukan mendengarkan visi-misi kandidat.
Kehadiran artis ibu kota ini tentu menjadi magnet dan hiburan gratis
bagi masyarakat kecil. Ditambah lagi pembagian kaus, nasi bungkus, dan
imbalan uang bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk
mengikuti kampanye. Makanya tidak heran, uang akan besar beredar ketika
memasuki tahap kampanye.
Namun bila kita cermati dengan saksama, tidak jarang terlihat
orang-orang yang sama hadir dalam kampanye kandidat atau partai lainnya.
Karena saat kampanye terbuka, masing-masing pasangan menyuguhkan
cara-cara yang sama. Baik itu mendatangkan artis, pembagian kaus, nasi
bungkus, ataupun imbalan berupa uang. Dengan kata lain, banyaknya massa
yang hadir dalam kampanye bukan merupakan sebuah indikasi bahwa pasangan
atau partai tersebut memiliki jumlah pendukung yang besar pula.
Hiburan dan tontonan, terutama artis ibu kota, mau tidak mau harus
kita akui sebagai magnet utama massa untuk datang. Makanya tidak heran,
dalam sebuah kampanye terbuka kandidat atau pun partai memutar otak dan
mempersiapkan dana guna mengupayakan mendatangkan artis. Begitu juga
dengan massa, usai mengikuti kampanye kebanyakan lebih teringat artis
yang ditontonnya daripada janji-janji atau isi kampanye yang disampaikan
kandidat atau pun jurkam. Tengok kembali apa yang disajikan ketika
kampanye, hiburan dan tontonan yang menghibur. Ketika jurkam memegang
mikrofon untuk berpidato, dapat dilihat antusias massa memudar. Bahkan
acuh tak acuh dan berusaha mencari tempat berteduh dari teriknya sinar
matahari. Lain ketika artis tampil, massa kembali bersemangat dan tidak
peduli lagi dengan panas. Artinya, rakyat lebih butuh hiburan dibanding
pidato dengan berbagai janji-janji.
Setiap kandidat melalui tim suksesnya masing-masing tentu selalu
memutar otak bagaimana caranya menghadirkan begitu banyak massa. Selain
sebagai unjuk kekuatan massa pendukung, momen kampanye terbuka menjadi
penting karena saat kampanyelah kandidat dapat kembali meyakinkan
pendukungnya. Bahkan kampanye juga berguna untuk menarik perhatian massa
dari pendukung lain untuk berpindah haluan mendukungnya. Melalui
kampanye mereka berusaha menarik perhatian, menciptakan simpati dan
empati massa.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat melontarkan saran
kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), agar membatasi kampanye
besar-besaran pada Pemilu 2014. Orang nomor satu di Indonesia itu
menilai kampanye besar-besaran dengan pengerahan massa ribuan orang
tidak efisien dan tidak efektif untuk menyampaikan pesan calon presiden
maupun partai politik. Padahal kampanye terbuka dengan besar-besaran
salah satu mengapa biaya pemilu menjadi mahal. Akibatnya dapat mendorong
suatu partai politik dan calon presiden menggalang dana secara
menyimpang.
SBY pun menyarankan agar peserta pemilu ke depannya kampanye dalam
skala kecil dengan pengerahan massa antara seribu hingga dua ribu orang.
Peserta pemilu alangkah baiknya memanfaatkan media massa untuk
menyampaikan program dan ide mereka ke masyarakat luas.