Seorang guru bermaksud menguji sejauh mana ketaatan murid-muridnya.
Ia kemudian mengumpulkan para muridnya untuk diberikan pengarahan.
Sembari memberi pengarahan, sang guru membekali masing-masing muridnya
dengan sebilah pisau dan seekor burung.
“Sembelihlah burung itu di tempat yang tak ada satu pun yang tahu.
Setelah itu bawa burung yang sudah disembelih itu padaku,” titah sang
guru.
Semua mengangguk. Maka beranjaklah murid-murid ini ke tempat yang mereka anggap “aman” tanpa diketahui siapa pun selain dirinya. Ada yang ke gunung, ke pantai, ke gua, dan lain sebagainya. Setelah selesai, mereka kembali dan satu per satu melaporkan dan menunjukkan hasil sembelihan.
Semua mengangguk. Maka beranjaklah murid-murid ini ke tempat yang mereka anggap “aman” tanpa diketahui siapa pun selain dirinya. Ada yang ke gunung, ke pantai, ke gua, dan lain sebagainya. Setelah selesai, mereka kembali dan satu per satu melaporkan dan menunjukkan hasil sembelihan.
Hingga pada giliran salah seorang murid yang masih membawa burung
tersebut dalam keadaan hidup. Kondisinya sama seperti ketika diserahkan
gurunya. Sang guru pun bertanya kepada pemuda tersebut mengapa sampai
burung itu tak disembelih.
“Aku sudah berusaha mencari tempat di mana tidak ada satu pun yang
tahu. Namun tetap saja ada yang melihat. Dialah Zat Yang Maha Melihat
dan Mendengar,” jawab si murid. Sang guru pun tersenyum puas.
Meski tak dapat melihat Tuhan, namun si murid yakin dirinya dilihat
Tuhan. Keyakinan inilah yang harusnya tumbuh dalam diri seseorang.
Meyakini adanya Pengawas Sejati yang tak ada satu pun luput dari
pengamatan-Nya.
Keyakinan diawasi inilah yang membuat seseorang untuk berlaku jujur
dan amanah. Terlebih ketika ia memegang suatu jabatan. Harta, pangkat,
dan jabatan memang terkadang melalaikan. Jika tak hati-hati seseorang
mudah terjebak. Ujung-ujungnya dengan mudah melakukan korupsi. Jabatan
dianggap kesempatan untuk menumpuk harta.
Adanya aparat penegak hukum, seperti KPK, kejaksaan, maupun BPKP
sejatinya tak menjadikan sebuah negara bebas korupsi. Institusi tersebut
hanyalah upaya negara untuk menekan angka tindak pidana korupsi. Lebih
celaka lagi jika aparat penegak hukum pun ikut-ikutan korupsi.
Kondisi semakin memprihatinkan begitu mengetahui para koruptor
mendapat hukuman ringan. Tak sebanding dengan perbuatannya. Bahkan tak
jarang tersangka korupsi yang divonis bebas. Terlepas dari bukti-bukti
hukum di persidangan, sebagai masyarakat, melihat kenyataan itu kita
terkadang hanya bisa mengurut dada. Sedih, memilukan, sekaligus
memalukan.
Tentu berbeda halnya jika pejabat yang merasa “diawasi”. Jabatan
dipandang sebuah amanah dan tanggung jawab. Tak hanya kepada sesama
manusia, tapi juga pada Tuhan. Pejabat yang begini, jangankan peluang
kecil, peluang besar saja untuk korupsi tidak akan dimanfaatkannya.
Sebab ia yakin, ada Zat Yang Maha Mengetahui yang selalu mengawasi
gerak-geriknya. KPK, BPK, BPKP, ataupun inspektorat mungkin bisa saja
dikelabui. Tapi ia tidak akan lepas dari Sang Pengawas Sejati. Terlebih
apa yang dilakukan akan diminta pertanggungjawaban di akhirat.
Selaku warga yang menyumbang pajak negara tentu berharap uang
tersebut dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan bangsa.
Bukan untuk menggendutkan pejabat-pejabat yang korup. Soalnya
berdasarkan laporan Transparency International melalui penerbitan
Corruption Perception Index (CPI) tahun 2012, Indonesia menempati
peringkat 118 dari 167 negara di dunia dalam urusan transparansi dan
bebas korupsi. Begitu parahnya kasus korupsi di Nusantara ini menandakan
pelakunya kental tidak beriman.