
Anggota dewan memiliki wewenang yang besar dalam NKRI. Mereka terlibat dalam penyusunan APBD bagi anggota DPRD dan APBN bagi DPRI. Mereka juga memiliki kewenangan dalam membuat peraturan-peraturan, dan lain sebagainya. Namun yang utama, anggota legislatif akan dekat dengan kemewahan.
Dengan berbagai keuntungan besar didapatkan, tidak heran banyak yang
berlomba-lomba menjadi caleg. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang
berspekulasi dengan mengeluarkan modal yang besar, agar dapat dipilih
masyarakat. Parahnya lagi, mereka bersedia menghalalkan segala cara
untuk mewujudkan keinginan tersebut. Baik melakukan money politic,
kontrak politik, atau bahkan dengan cara mengintimidasi masyarakat.
Begitu strategis perannya, masih banyak parpol yang masih menerapkan
sistem politik dinasti. Dalam kepengurusan elite parpol dihuni lingkaran
keluarga. Akibatnya parpol ibarat kerajaan yang dipegang kendali oleh
satu keluarga tertentu. Akhirnya, ketika penyusunan daftar caleg, banyak ditemukan dihuni
para kerabat. Baik istri, anak, sepupu, dan lain sebagainya. Hal inilah
yang saat ini banyak diributkan oleh pemerhati perpolitikan di tanah
air. Maklum saja saat ini, Indonesia sedang memasuki tahapan-tahapan
pemilu legislatif. Di mana semua parpol telah mengusulkan daftar bakal
caleg ke KPU untuk bertarung di 2014 nanti.
Gambaran ini menunjukkan, seolah-olah parpol milik segelintir elite
parpol atau keluarga tertentu. Bebasnya memasukkan keluarga ini
mencerminkan mandeknya kaderisasi dan proses rekrutmen oleh parpol.
Sehingga tidak jarang, di tingkat parpol saja kerap terjadi
gesekan-gesekan sesama pengurus.
Memang, pada prinsipnya tidak ada larangan membangun dinasti politik
di satu partai. Namun politik kekerabatan ini dianggap menjadi masalah
ketika proses rekrutmen tidak memberikan ruang bagi kader melalui
mekanisme yang lazim. Apalagi jika pola rekrutmen kepengurusan strategis dan caleg dilakukan tanpa
melalui proses kaderisasi terlebih dahulu di partai. Kondisi ini tentu
menggambarkan bahwa parpol sebenarnya tidak memiliki platform kaderisasi
yang jelas.
Penempatan caleg yang didasarkan pada dominasi para elite parpol
patut diwaspadai. Apa lagi banyak menempatkan keluarga dengan tidak
mempertimbangkan kualitas. Hanya lantaran bapak atau ibunya seorang
pucuk pimpinan parpol, anaknya diberikan posisi strategis. Padahal
pengalaman berpolitik sang anak sangat dangkal. Sementara kader lainnya
yang telah membesarkan partai tidak dilirik. Sebaliknya, dinasti politik
tidak perlu dipermasalahkan jika diusulkan untuk menduduki jabatan
tertentu melalui proses kaderisasi.
Di lingkup parpol saja mengedepankan nepotisme, apa lagi ketika
menjadi pejabat negara seperti anggota legislatif. Tentu akan banyak
lagi nepotisme-nepotisme lain yang dilakukan. Jadi, tinggal masyarakat
sendiri yang menilai parpol dan caleg pada pemilu legislatif 2014 nanti.