Terhitung sejak18 November 2014 lalu, pemerintah telah
menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Kenaikan ini diumumkan
sendiri oleh Presiden Jokowi di Istana Negara pada 17 November 2014 malam. Harga
BBM jenis premium yang sebelumnya Rp 6.500 per liter, naik Rp 2.000 menjadi Rp 8.500
per liter. Sedangkan Solar dari Rp 5.500 per liter, juga naik Rp 2.000 menjadi
Rp 7.500 per liter.
Walaupun sebelumnya ada aksi-aksi penolakan atas rencana ini, Jokowi tetap menaikan harga BBM bersubsidi. Sebab, Jokowi menginginkan adanya pengalihan subsidi dari konsumtif ke sektor produktif. Dengan pengurangan subsidi BBM ini, pemerintah telah menghemat lebih dari Rp 100 triliun. Dana sebesar itu akan dialihkan untuk membangun infrastruktur jalan, jembatan, waduk, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Walaupun sebelumnya ada aksi-aksi penolakan atas rencana ini, Jokowi tetap menaikan harga BBM bersubsidi. Sebab, Jokowi menginginkan adanya pengalihan subsidi dari konsumtif ke sektor produktif. Dengan pengurangan subsidi BBM ini, pemerintah telah menghemat lebih dari Rp 100 triliun. Dana sebesar itu akan dialihkan untuk membangun infrastruktur jalan, jembatan, waduk, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Sama seperti di era pemerintahan Susilo Bambang Yodhoyono
(SBY), Pemerintahan Jokowi pun memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin
atas kenaikan BBM ini. Bahkan di era Jokowi ini, masyarakat diberikan “Kartu
Sakti” berupa Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonsia Sehat (KIS), dan
Kartu Indonesia Pintar (KIP). Meskipun harga BBM sudah dinaikan pemerintah,
aksi penolakan terus berlangsung. Setiap hari ada saja kelompok masyarakat yang
berdemontrasi. Bukan hanya mahasiswa, para buruh pun tidak mau ketinggalan.
Tidak semua demontrasi penolakan kenaikan harga BBM itu
berjalan damai. Beberapa di antaranya berlangsung anarkis dan bentrok. Bahkan
sampai menyebabkan tewasnya salah seorang warga. Seperti aksi unjukrasa
mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) yang bentrok dengan polisi di
Makassar, Sulawesi Selatan, telah merenggut nyawa Muhammad Arief alias Arief
Pepe, warga Kelurahan Pampang I, Kecamatan Panakukkang, Kamis (27/11).
Ternyata, rencana pengalihan subsidi ke sektor produktif
yang dijanjikan Jokowi tidak serta merta dapat diterima masyarakat. Entah
sampai kapan demontrasi di beberapa daerah ini akan berakhir. Sementara
pemerintah tetap mempertahankan kebijakannya menaikkan harga BBM subsidi di
tengah turunnya harga minyak dunia.
Aksi sebagian elemen masyarakat ini, sebenarnya mewakili
rakyat Indonesia lainnya yang hanya bisa pasrah dengan kebijakan pemerintah.
Sebab, kenaikan BBM ini memiliki efek domino terhadap kenaikan harga-harga
lainnya. Seperti kebutuhan pokok, bahan bangunan, tarif angkutan umum, dan
seterusnya. Sedangkan daya beli masyarakat semakin berkurang.
Kondisi ini tentu membuat kehidupan masyarakat semakin
sulit. Walaupun ada dana kompensasi untuk masyarakat miskin, nyatanya ini
dirasakan tidak banyak membantu. Sebab, dana kompensasi yang diperoleh kurang
sebanding dengan mahalnya harga-harga barang. Terlebih terhadap masyarakat di
daerah terpencil.
Di sisi lain, penyaluran bantuan Program Simpanan
Keluarga Sejahtera (PSKS) yang merupakan kompensasi kepada masyarakat miskin
akibat kenaikan harga BBM pun masih menimbulkan persoalan di beberapa daerah.
Seperti adanya masyarakat miskin, tetapi tidak menerima PSKS. Sebaliknya, ada
warga yang dianggap mampu, namun menerimanya. Akibat dianggap tidak tepat
sasaran, akhirnya ada Kepala Desa (Kades) yang menjadi sasaran unjuk rasa
warganya.
Tidak hanya itu, pola penyaluran dana bantuan PSKS ini
pun kerap dipertanyakan. Di beberapa daerah masyarakat miskin penerima PSKS
mesti antre berjam-jam dan tidak boleh diwakilkan. Akibatnya, seorang nenek
berusia 69 tahun, Mak Icih tewas, Jumat (28/11) lalu. Warga Kampung Torowek,
Desa Dirgahayu, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, ini tewas usai
mengikuti antrean panjang untuk mendapatkan bantuan PSKS di Kantor Camat
Kadipaten.
Kenaikan BBM bersubsidi ini pun mendapat penolakan dari
legislatif di Senayan. Setidaknya sudah 200 anggota DPR yang menandatangi hak
interpelasi terhadap Presiden Jokowi. Tujuannya, ingin meminta penjelasan
langsung dari Presiden Jokowi terkait kebijakan menaikkan harga BBM. Apalagi,
saat menaikkannya, pemerintah tidak berkonsultasi terlebih dahulu kepada DPR.
Sikap Jokowi ini sangat berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Namun, hak
interpelasi anggota DPR ini masih memunculkan pro dan kontra.
Melihat berbagai perkembangan menyangkut kisruh kenaikan harga BBM ini, kita tinggal menunggu akhirnya. Apakah masyarakat dan anggota DPR nantinya dapat menerima kebijakan pemerintah ini. Atau pemerintah yang malah melunak dengan menurunkan kembali harga BBM? Wallahu’alam.
Melihat berbagai perkembangan menyangkut kisruh kenaikan harga BBM ini, kita tinggal menunggu akhirnya. Apakah masyarakat dan anggota DPR nantinya dapat menerima kebijakan pemerintah ini. Atau pemerintah yang malah melunak dengan menurunkan kembali harga BBM? Wallahu’alam.
No comments:
Post a Comment