
Di lahan yang luas itulah akan dibangun betang warga
Dusun Kapar. Jaraknya sekitar 500 meter betang yang mereka huni selama ini, di
pinggir Jalan Lintas Utara, berseberangan dengan betang lama. Para perempuan
sebelumnya sudah menyiaapkan perangkaat upacara. Ada telur ayam, renai, pulut,
tumpik, sirih, pinang, daun sedik, tembakau, dan kapur. Tidak ketinggalan pula
tuak serta ayam dan babi yang masih hidup.
Para tetua adat duduk bersila di hamparan tikar bamboo.
Dua bakul kecil yang disebut ‘persang’ dari anyaman bambu disiapkan.
Masing-masing persang diisi telur ayam kampung, renai, pulut, tumpik, sirih,
pinang, daun sedik, tembakau, dan kapur. Kemudian ketua adat melafaskan doa dan
jampi-jampi sambil memegang ayam kampung. Ayam itu pun disebelih. “Doa dan
jampi-jampi dipanjatkan kepada Tuhan, agar pembangunan ini selalu dilindungi,”
ujar Mengiring.
Warga mempersiapkan lobang untuk penancapan tiang
pertama. Dalam lobang sebelum tiang ditancapkan, dicurahkan tuak. Selanjutnya
babi disembelih persis di atas lobang dan tiang yang akan ditancapkan. Wabub
Agus Mulyana pun didaulat menancapkan tiang pertama pembangunan betang
tersebut. Tiang berupa tongkat kayu belian ditancapkan disusul penancapan tiga
tongkat oleh pemuka adat. Diantara tongkat yang tertancap, diikatkan kayu yang
tinggi. Gunanya untuk menggantung persang yang telah diisi telur ayam kampung,
renai, pulut, tumpik, sirih, pinang, daun sedik, tembakau, dan kapur. “Persang
tetap diikat di situ hingga rumah betang ini nantinya rampung. Itu sebagai
sesajen untuk roh leluhur agar selalu menjaga bangunan selama pengerjaan,”
jelas Mengiring.
Ritual Pedara wajib dilaksanakan, selain melindungi para
pekerja dan proyek lancar, bila ditempati nanti akan memberikan keselamatan
kepada penghuninya. Betang itu dirancang sebanyak 20 pintu. “Saya tidak tahu
untuk suku Dayak lain, tetapi Dayak Iban semua sama ritual yang dilakukan saat
akan membangun rumah betang,” tambah Mengiring.
Sebenarnya, tanah di dusun itu seluas dan semampu berlari
menentukan batas istilahnya, masih ada. Setiap orang bila ingin membangun rumah
sendiri-sendiri tentu tidak kesulitan mencari tanah. Tetapi mereka tetap
mempertahankan tradisi rumah betang. “Kapan selesainya betang yang baru ini
saya pun belum tau, karena akan dikerjakan secara pelan-pelan. Sebab, kami
menggunakan dana pribadi, belum ada bantuan dari pemerintah daerah. Kami
berharap ada bantuan dari pemerintah daerah, terutama untuk atapnya,” harapnya.
Betang panjang ini syarat dengan kearifan lokal yang
turun temurun sejak ratusan tahun silam. Inilah simbol persatuan, kebersamaan,
kekuatan hidup di bumi bersatu dengan alam. Semua penghuni adalah keluarga.
“Kami tetap mempertahankan rumah betang karena merupakan peninggalan nenak
moyang kami agar selalu berkumpul dalam ikatan keluarga,” papar Mengiring.
Kendati berkeluarga secara keseluruhan, namun ada
aturan-aturan yang mesti ditaati. Jangan mencuri, jangan berkelahi dengan
sesama, karena siap-siap terkena hukum adat. Dengan adanya aturan-aturan yang
ketat inilah, keharmonisan selalu terjaga. “Aturan di rumah betang banyak, apa
yang boleh dan tidak boleh. Bila melanggar akan ada sanksinya, mulai dari yang
ringan hingga terberat,” ungkap Mengiring.
Wabup Kapuas Hulu mengapresiasi semangat warga. Ini
berarti masyarakat tetap kompak mempertahankan tradisi dan adat yang melindungi
kehidupan mereka. Agus Mulyana ketika diundang di ritual Pedara, langsung
menyanggupinya.
Betang atau rumah panjang merupakan warisan nenek moyang
suku Dayak. Rumah yang tak hanya sebagai tempat bereduh, itu juga sebagai
tempat berkumpul, berhimpun dan bersatu. Sehingga dalam berbagai persoalan yang
ada dapat dipecahkan bersama. “Dengan adanya rumah betang, tidak gampang
diserang binatang buas dan musuh. Namun yang penting adalah kebersamaannya,
sehingga betang masih tetap kita pertahankan,” kata Agus Mulyana didampingi Ny.
Terina Timas Mulyana AMd.
Beberapa tahun lalu rumah betang mulai ditinggalkan
karena munculnya sikap individual, privacy, atau bahkan kemakmuran
keluarga demi keluarga. Belakangan betang panjang digalakkan kembali.
Bahkanwarga di beberapa daerah berlomba-lomba membangun betang. Pemerintah pun
membangun rumah betang. “Hakikat budaya rumah betang jangan sampai
ditinggalkan. Selain sebagai tempat tinggal bersama, juga bermanfaat untuk
menyelesaikan segala persoalan secara bersama-sama. Jangan malah setelah
tinggal di rumah betang terjadi perpecahan,” imbau Wabup
No comments:
Post a Comment