Dalam suatu perbincangan
ringan dengan seorang teman, dengan nada bercanda, saya sempat bertanya soal
siapa yang akan dipilih pada Pemilu Legislatif nanti? Ternyata jawabannya
membuat saya sedikit kaget. “Siapa pun yang berani beri uang, akan ia coblos,”
jawab teman saya itu santai.
Ekstrimnya lagi, ia mengatakan bila tidak ada yang memberi uang, ia tidak akan memilih. Ia enggan pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mencoblos alias Golput. Inilah pilihan dan sikapnya di Pileg nanti.
Ekstrimnya lagi, ia mengatakan bila tidak ada yang memberi uang, ia tidak akan memilih. Ia enggan pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mencoblos alias Golput. Inilah pilihan dan sikapnya di Pileg nanti.
“Mengapa begitu?,” tanya
saya. Dengan nada agak tinggi ia menjelaskan, karena siapa pun yang nanti jadi
anggota dewan, dia pasti tidak peduli lagi dengan pemilihnya. Jadi menurutnya
mumpung ada kesempatan akan dimanfaatkannya untuk mendapatkan duit dari para
Caleg. Menurutnya kelakuan anggota dewan yang terpilih sama saja. Mementingkan
diri sendiri dan tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Ia pun sempat memberikan
contoh, sudah beberapa anggota dewan dan politisi yang masuk bui karena
korupsi. Sehingga bisa dikatakan sangat sulit mencari anggota dewan yang
benar-benar amanah.
Dalam lingkup kecil, ia
pun memberikan contoh salah seorang anggota dewan yang berada di daerahnya dan
kebetulan juga saya kenal. Dan rasa-rasanya apa yang dijadikannya contoh
tersebut ada benarnya juga.
Argementasi lain yang
dipaparkan teman saya tersebut bahwa walau pun awalnya ada anggota dewan berniat
baik, tapi suatu saat sikapnya akan berubah sebaliknya. Ini lantaran anggota
dewan tersebut harus tunduk dengan kebijakan partai politik dimana tempatnya
bernaung. Sehingga walau pun hati nuraninya sebenarnya tidak setuju, tapi
karena kebijakan partai politiknya mengatakan harus setuju, maka mau tidak mau,
ia harus manggut.
Kepentingan partai politik
tentu menjadi segalanya bagi anggota dewan yang dibagi menjadi fraksi-fraksi di
lembaga legislatif. Kalau tidak mengikuti kebijakan partai politik, maka
siap-siap saja di PAW (Pergantian Antar Waktu).
Di benak teman saya,
mereka yang mencoba peruntungan menjadi Caleg sejatinya bukan demi mengubah
negara ini menjadi lebih baik. Keikutsertaanya menjadi Caleg tidak lain karena
gengsi dan materi. Akibatnya untuk mencapai itu, berbagai upaya pun dilakukan,
tidak peduli melanggar aturan.
Memang pemikiran teman
saya ini sangat sederhana, tapi rasa-rasanya bermakna. Walaupun dari segi
pendidikan, ia tidak begitu tinggi. Namun ia dapat menangkap fenomena yang ada
di lingkungannya, khususnya terkait Pemilu Legislatif nanti. Rasa pesimis dan
apatis teman saya ini, tidak bisa kita abaikan. Tapi ini harus menjadi renungan
bagi para Caleg itu sendiri. Apakah keikutsertaannya menjadi Caleg murni ingin
memperjuangkan nasib rakyat atau sebaliknya hanya mengejar gengsi dan materi.
Kita pun tidak bisa
menyalahkan sikap teman saya ini. Pasalnya rasa pesimis dan apatis tersebut
muncul setelah berkaca pada pengalaman sebelumnya. Ia pun trauma dan buru-buru
memvonis Pileg 2014 nanti akan menghasilkan produk yang sama. Tidak peduli
dengan nasib rakyat yang diwakilinya, tapi hanya mengejar keuntungan pribadi.
Pengalaman pahit ini
mungkin tidak hanya dirasakan teman saya tersebut. Dari sekian juta rakyat
Indonesia tidak menutup kemungkinan ada merasakan hal yang sama. Merasa tertipu
dengan anggota legislatif yang telah ia pilih dulu.
Jangan-jangan pula ada
sebagian rakyat indonesia yang mengambil sikap yang sama seperti teman saya.
Hanya memilih Caleg yang berani memberi uang. Siapa pun dia, asalkan bersedia
membayar suara akan diberikan kepadanya.
Begitu bergensinya status
wakil rakyat tidak heran sangat diperebutkan. Semua pun dilakukan untuk
mendulang suara, ada yang meraihnya dengan sesuai aturan atau pun menghalalkan
segala cara. Salah satu cara mendulang suara adalah money politic.
Praktek money politic
sepertinya memang tidak akan hilang pada setiap pemilu. Jangankan Pileg,
Pilkada pemilihan kepala daerah saja kental dengan aroma money politic. Hanya
saja untuk permainan kotor seperti ini sulit dibuktikan. Biasanya
praktek-praktek ini bukan diperankan langsung yang bersangkutan atau pun tim
suksesnya. Tapi melalui perantara lain yang dapat dipercaya.
Tidak akan hilangnya
praktek-praktek kotor dalam pemilu - salah satunya money politik - tentu sudah
diprediksi. Sehingga tidak cukup dengan membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU),
pemerintah pun secara khusus membentuk badan yang mengawasi pemilu (Bawaslu)
mulai dari tingkat pusat hingga desa. Ini karena Pemilu memang rentan akan
praktek-praktek kecurangan.
Memang sebagian besar
rakyat Indonesia sudah cerdas dalam menghadapi Pileg ini. Mereka tidak akan mau
menukarkan suaranya dengan lembaran-lembaran Rupiah. Tapi tidak dapat
dipungkiri pula, pastinya ada yang tidak peduli dan mau menerima uang untuk
ditukarkan dengan suaranya. Apa lagi bila sasaran money politic ini terhadap
masyarakat yang perekonomian di bawah rata-rata. Makanya pemerintah mulai
tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat kerap mengkampanyekan pemilu
bersih. Rakyat dihimbau untuk tidak pengaruh dengan politik uang, tapi memilih
dengan hati.
Sebagai pemilih cerdas
kita tidak boleh juga pesimis dan apatis. Karena dari sederetan Caleg pasti ada
yang benar-benar bersih. Disini lah dituntut kecermatan kita memilih wakil
rakyat. Jangan pengalaman buruk memilih wakil rakyat sebelumnya terulang.
Keberadaan dan
kelangsungan lembaga legislatif sangat penting. Apa jadinya bila pemerintahan
tidak memiliki legislatif, tentu akan lebih merusak tatanan kehidupan negara
ini. Jadi, jangan pesimis dan apatis, tapi optimis lah bahwa kita bisa
menghasilkan produk legislatif yang lebih baik pada pencoblosan 9 April nanti.
Asalkan semua rakyat Indonesia menjadi pemilih yang cerdas. Semoga!