Wednesday, 26 February 2014

Bila Prinsip “Ada Uang, Ada Suara”

Dalam suatu perbincangan ringan dengan seorang teman, dengan nada bercanda, saya sempat bertanya soal siapa yang akan dipilih pada Pemilu Legislatif nanti? Ternyata jawabannya membuat saya sedikit kaget. “Siapa pun yang berani beri uang, akan ia coblos,” jawab teman saya itu santai.
Ekstrimnya lagi, ia mengatakan bila tidak ada yang memberi uang, ia tidak akan memilih. Ia enggan pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mencoblos alias Golput. Inilah pilihan dan sikapnya di Pileg nanti.
“Mengapa begitu?,” tanya saya. Dengan nada agak tinggi ia menjelaskan, karena siapa pun yang nanti jadi anggota dewan, dia pasti tidak peduli lagi dengan pemilihnya. Jadi menurutnya mumpung ada kesempatan akan dimanfaatkannya untuk mendapatkan duit dari para Caleg. Menurutnya kelakuan anggota dewan yang terpilih sama saja. Mementingkan diri sendiri dan tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Ia pun sempat memberikan contoh, sudah beberapa anggota dewan dan politisi yang masuk bui karena korupsi. Sehingga bisa dikatakan sangat sulit mencari anggota dewan yang benar-benar amanah.
Dalam lingkup kecil, ia pun memberikan contoh salah seorang anggota dewan yang berada di daerahnya dan kebetulan juga saya kenal. Dan rasa-rasanya apa yang dijadikannya contoh tersebut ada benarnya juga.
Argementasi lain yang dipaparkan teman saya tersebut bahwa walau pun awalnya ada anggota dewan berniat baik, tapi suatu saat sikapnya akan berubah sebaliknya. Ini lantaran anggota dewan tersebut harus tunduk dengan kebijakan partai politik dimana tempatnya bernaung. Sehingga walau pun hati nuraninya sebenarnya tidak setuju, tapi karena kebijakan partai politiknya mengatakan harus setuju, maka mau tidak mau, ia harus manggut.
Kepentingan partai politik tentu menjadi segalanya bagi anggota dewan yang dibagi menjadi fraksi-fraksi di lembaga legislatif. Kalau tidak mengikuti kebijakan partai politik, maka siap-siap saja di PAW (Pergantian Antar Waktu).
Di benak teman saya, mereka yang mencoba peruntungan menjadi Caleg sejatinya bukan demi mengubah negara ini menjadi lebih baik. Keikutsertaanya menjadi Caleg tidak lain karena gengsi dan materi. Akibatnya untuk mencapai itu, berbagai upaya pun dilakukan, tidak peduli melanggar aturan.
Memang pemikiran teman saya ini sangat sederhana, tapi rasa-rasanya bermakna. Walaupun dari segi pendidikan, ia tidak begitu tinggi. Namun ia dapat menangkap fenomena yang ada di lingkungannya, khususnya terkait Pemilu Legislatif nanti. Rasa pesimis dan apatis teman saya ini, tidak bisa kita abaikan. Tapi ini harus menjadi renungan bagi para Caleg itu sendiri. Apakah keikutsertaannya menjadi Caleg murni ingin memperjuangkan nasib rakyat atau sebaliknya hanya mengejar gengsi dan materi.
Kita pun tidak bisa menyalahkan sikap teman saya ini. Pasalnya rasa pesimis dan apatis tersebut muncul setelah berkaca pada pengalaman sebelumnya. Ia pun trauma dan buru-buru memvonis Pileg 2014 nanti akan menghasilkan produk yang sama. Tidak peduli dengan nasib rakyat yang diwakilinya, tapi hanya mengejar keuntungan pribadi.
Pengalaman pahit ini mungkin tidak hanya dirasakan teman saya tersebut. Dari sekian juta rakyat Indonesia tidak menutup kemungkinan ada merasakan hal yang sama. Merasa tertipu dengan anggota legislatif yang telah ia pilih dulu.
Jangan-jangan pula ada sebagian rakyat indonesia yang mengambil sikap yang sama seperti teman saya. Hanya memilih Caleg yang berani memberi uang. Siapa pun dia, asalkan bersedia membayar suara akan diberikan kepadanya.
Begitu bergensinya status wakil rakyat tidak heran sangat diperebutkan. Semua pun dilakukan untuk mendulang suara, ada yang meraihnya dengan sesuai aturan atau pun menghalalkan segala cara. Salah satu cara mendulang suara adalah money politic.
Praktek money politic sepertinya memang tidak akan hilang pada setiap pemilu. Jangankan Pileg, Pilkada pemilihan kepala daerah saja kental dengan aroma money politic. Hanya saja untuk permainan kotor seperti ini sulit dibuktikan. Biasanya praktek-praktek ini bukan diperankan langsung yang bersangkutan atau pun tim suksesnya. Tapi melalui perantara lain yang dapat dipercaya.
Tidak akan hilangnya praktek-praktek kotor dalam pemilu - salah satunya money politik - tentu sudah diprediksi. Sehingga tidak cukup dengan membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemerintah pun secara khusus membentuk badan yang mengawasi pemilu (Bawaslu) mulai dari tingkat pusat hingga desa. Ini karena Pemilu memang rentan akan praktek-praktek kecurangan.
Memang sebagian besar rakyat Indonesia sudah cerdas dalam menghadapi Pileg ini. Mereka tidak akan mau menukarkan suaranya dengan lembaran-lembaran Rupiah. Tapi tidak dapat dipungkiri pula, pastinya ada yang tidak peduli dan mau menerima uang untuk ditukarkan dengan suaranya. Apa lagi bila sasaran money politic ini terhadap masyarakat yang perekonomian di bawah rata-rata. Makanya pemerintah mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat kerap mengkampanyekan pemilu bersih. Rakyat dihimbau untuk tidak pengaruh dengan politik uang, tapi memilih dengan hati.
Sebagai pemilih cerdas kita tidak boleh juga pesimis dan apatis. Karena dari sederetan Caleg pasti ada yang benar-benar bersih. Disini lah dituntut kecermatan kita memilih wakil rakyat. Jangan pengalaman buruk memilih wakil rakyat sebelumnya terulang.
Keberadaan dan kelangsungan lembaga legislatif sangat penting. Apa jadinya bila pemerintahan tidak memiliki legislatif, tentu akan lebih merusak tatanan kehidupan negara ini. Jadi, jangan pesimis dan apatis, tapi optimis lah bahwa kita bisa menghasilkan produk legislatif yang lebih baik pada pencoblosan 9 April nanti. Asalkan semua rakyat Indonesia menjadi pemilih yang cerdas. Semoga!