Friday, 31 January 2014

Masih Layakkah Jakarta Sebagai Ibu Kota Negara ?

Jakarta kebanjiran lagi. Hanya saja jika dulu banjir di Jakarta menjadi fenomena musiman mungkin lima atau tiga tahun sekali, tapi belakangan ini bisa dikatakan terjadi setiap tahun. Intensitas dan kapasitasnya lebih meningkat.
Meski banjir juga biasa dialami daerah lain, namun hebohnya tidak seperti di Jakarta. Ini dapat kita maklumi, karena Jakarta merupakan ibu kota negara. Sehingga tidak hanya menjadi sorotan di tanah air, tapi juga dunia.
Kalau kita amati lebih jauh, persoalan di Jakarta bukan hanya sekedar banjir. Sebab masih banyak persoalan lain seperti macet dan lain-lain. Namun banjir dan macet merupakan permasalahan utama di ibu kota negara Indonesia ini. Terhadap dua persoalan ini saja, Pemerintah Jakarta sudah kelimpungan menghadapinya. Segala upaya telah dicoba, toh nyatanya kebanjiran dan kemacetan di Jakarta tidak kunjung bisa teratasi. Meski pun gubernurnya saat ini dijabat sosok yang fenomenal dan terkenal, Joko Widodo.
Memang tidak mudah bagi Jokowi mengatasi kedua persoalan mendasar di Jakarta tersebut. Ini lantaran permasalahan di Jakarta begitu kompleks. Sebagai pusat pemerintahan negara, Jakarta mengalami pertumbuhan yang begitu pesat dibandingkan daerah lainnya di indonesia. Begitu pula sebagai pusat ekonomi dan perdagangan, berbagai pembangunan di Jakarta begitu tumbuh subur. Alhasil, tidak hanya bangunan milik pemerintah, pihak swasta pun berlomba-lomba membangun di Jakarta.
Sebagai wajahnya Indonesia, Jakarta memiliki magnet bagi setiap warganya. Sehingga banyak yang berduyun-duyun ingin mencoba ‘peruntungan’ di Jakarta. Akibatnya ‘ledakan’ jumlah penduduk di Jakarta tidak dapat terkendali lagi, yang saat ini mencapai 10 juta jiwa.
Masih layakkah Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia? Pertanyaan ini muncul ketika melihat kondisi Jakarta saat ini. Musibah banjir dan tingkat kemacetan yang begitu tinggi di Jakarta, setidaknya telah mencoreng Indonesia di mata internasional.
Mungkin permasalahan banjir dan macet di Jakarta nanti bisa teratasi. Namun itu perlu kerja keras, biaya besar, dan memerlukan proses yang sangat panjang. Tapi perkembangan pembangunan dan kepadatan juga merupakan aspek penting, sementara areal di Jakarta semakin mengecil.
Tidak ada salahnya pemerintah pusat mempertimbangkan lagi wacana pemindahan ibu kota negara. Mungkin ini ada baiknya juga untuk menghilangkan citra banjir, macet dan padatnya ibu kota negara. Toh Jakarta tetap sudah maju dan berkembang. Biar Jakarta tetap jadi centra ekonomi, perdagangan, dan sebagainya, sementara pusat pemerintahan negara dipindahkan ke ibu kota yang baru.
Ide pemindahan ibu kota negara sudah lama digaung-gaungkan. Yang teranyer, wacana ini bahkan sempat digulirkan kembali oleh orang nomor satu di republik ini, setelah melakukan kunjungan kenegaraan ke negara Kazakhastan beberapa waktu yang lalu. Rupanya Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) terpikat pada ibu kota negara Kazakhastan yang baru, yaitu Astana.
Belum sempat menginjakkan kakinya ke tanah air, saat keterangan pers di Hotel Grand Emerald, St. Petersburg, Rusia, SBY mengeluarkan statement wacana pemindahan ibu kota negara ini. Bahkan dalam keterangan pers pada Sabtu September 2013 lalu tersebut, SBY mengatakan bawa ia membentuk tim kecil untuk mulai memikirkan kemungkinan pemindahan ibu kota negara Indonesia. Alhasil wacana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta kembali ramai diperbincangkan di dalam negeri.
Memang tidak dipungkiri, untuk memindahkan ibu kota negara segampang yang dipikirkan. Perlu perencanaan dan kajian yang matang, apa dampak positif dan negatifnya.  Begitu pula dari segi biaya, tentu memerlukan anggaran yang sangat besar. Pemindahan secara keseluruhannya pun memerlukan proses lama. Namun ini merupakan langkah yang arif dan bijaksana untuk mengantisipasi perkembangan zaman, sehingga pemindahan ibu kota negara sudah harus dipikirkan sejak sekarang. Pemerintah RI harus berani mengambil langkah strategis ini.
Bukankah wacana pemindahan ibu kota negara pun sudah ada sejak masa Presiden RI pertama di tahun 1950? Pada saat itu Soekarno menginginkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Palangkaraya, Kalteng. Masa Presiden Soeharto juga pernah mewacanakan pemindahan ibu kota negara ke Bogor. Hanya saja semua rencana presiden terdahulu ini tidak pernah terlaksana atau diteruskan.
Berkaca dari negara lain, ada beberapa yang berani memindahkan ibu kota negaranya. Bahkan pemindahan ibu kota negara ini terbilang sukses. Ini karena upaya keras dibarengi kesadaran pemerintah dan masyarakatnya serta kemauan membangun pusat pemerintahan baru menjadi kunci sukses negara-negara tersebut dalam memindahkan pusat kota. Tidak hanya Kazakhastan dengan ibu kota barunya Astana, yang sempat membuat SBY kepincut, tapi ada jua negara-negara lainnya. Seperti Brazil, India, Australia, Pakistan, dan Inggris. Walau pun demikian, ada juga negara yang gagal memindahkan ibu kotanya.
Bila ditelaah lebih dalam, sebenarnya pemindahan ibu kota negara ini guna menyelamatkan Jakarta juga. Bila status pusat administrasi negara terus dipertahankan dalam jangka waktu lama, akan menghancurkan Jakarta itu sendiri. Bayangkan saja, saat ini kepadatan penduduk kota metropolitan tersebut sudah mencapai 10 juta jiwa. Angka ini akan terus mengalami peningkatan bila status Jakarta sebagai pusat pemerintahan, ekonomi, perdagangan dan sebagainya terus dipertahankan. Pun demikian pula dengan pembangunan akan semakin tidak terkendali, padahal Jakarta sudah semakin sempit. Andai ibu kota negara dipindahkan setidaknya akan mengurai kepadatan itu. Selain itu, akan diyakini pembangunan akan lebih merata. Tidak seperti selama ini, pembangunan lebih bertumpuk di pulau Jawa.