Kabupaten Kapuas Hulu secara nyata
telah mengalokasikan sekitar 56,51 persen dari total luas wilayahnya sebagai
kawasan lindung atau konservasi. Atas dasar itu, maka Kapuas Hulu pun berani
memproklamirkan diri sebagai kabupaten konservasi. Penetapan Kapuas Hulu
sebagai kabupaten konservasi dilakukan pada Mei 2003 melalui SK Bupati Nomor
144 Tahun 2003, di masa kepemimpinan Abang Tambul Husin.
Kapuas
Hulu memiliki dua taman nasional, yaitu Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS)
dan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK). Selain itu, juga banyak hutan dan
danau lindung. Secara keseluruhan total luas kawasan konservasi di
kabupaten ujung Kalbar ini mencapai sekitar 2 juta hektar. Lebih luas dari
kawasan lain seperti pemukiman penduduk dan lainnya.
TNDS
seluas 132.000 hektar ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan
dan Perkebunan Nomor:34/Kpts-II/1999. Ekosistem TNDS sangat kompleks. Kondisi
kawasannya dibatasi oleh bukit-bukit dan dataran tinggi. Sehingga merupakan
daerah tangkapan air (water Catchment Area) dan sekaligus sebagai pengatur tata
air bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas. Dengan demikian, daerah di hilir
aliran kapuas sangat tergantung pada fluktuasi jumlah air yang ditampung oleh
TNDS di Kapuas Hulu.
Kondisi
hutan di TNDS merupakan hutan hujan tropis yang jauh lebih lebat dibandingkan
dengan hutan rawa di sekitarnya. Di samping kaya akan flora, kawasan TNDS
memiliki sejumlah fauna yang beraneka ragam. Khususnya untuk fauna, kawasan
TNDS tercatat sebagai salah satu habitat ikan air tawar terlengkap di dunia.
Tercatat 120 jenis ikan, termasuk jenis yang langka serta bernilai tinggi yaitu
ikan Arwana. Serta terdapat beberapa jenis spesies yang hanya dimiliki
oleh TNDS, dalam artian tidak ditemukan di belahan bumi mana pun. Hal itu pun
telah diakui seluruh masyarakat dunia dan TNDS telah ditetapkan sebagai kawasan
Lahan Basah (Ramsar Site) oleh konveksi UNESCO.
Sementara
TNBK ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor:467/Kpts-II/1995 tanggal
5 September. Dengan luas 800.000 hektar, TNBK merupakan habitat hutan
hujan tropis dan diyakini sebagai paru-paru dunia. Kawasan konservasi Kapuas
Hulu lainnya terdiri dari hutan lindung yang terpencar-pencar di setiap
kecamatan dengan luas mencapai sekitar 900.000 hektar. Begitu pula dengan
danau-danau lindungnya yang begitu banyak. Saat ini saja sudah ada 22 danau
lindung yang mendapatkan SK dari Bupati Kapuas Hulu.
Sebagai
kawasan lindung atau konservasi, konsekuensinya, Pemerintah Daerah (Pemda) dan
masyarakat Kapuas Hulu tidak bisa menggangu gugatnya. Jangankan menebang,
mengambil pohon-pohon atau kayu-kayu yang telah tumbang saja tidak boleh.
Apalagi dipakai untuk bercocok tanam. Padahal mata pencarian masyarakat Kapuas
Hulu didominasi disektor pertanian dan perkebunan. Celakanya lagi, potensi di
kawasan konservasi sangat banyak, termasuk pertambangan. Akibatnya, Pemda dan
masyarakat Kapuas Hulu pun tidak bisa mengeksploitasi kawasan konservasi
tersebut.
Masyarakat
yang hidup di kawasan hutan lindung pun terbilang terjepit. Salah satunya di
perhuluan Sungai Kapuas. Jalan darat tidak ada, akses satu-satunya hanya jalur
sungai yang mesti melalui jeram. Tak ayal, biaya transportasi pun sangat
mahal, hingga jutaan rupiah.
Pemda
Kapuas Hulu bukannya tidak mau membangun jalan darat bagi masyarakat perhuluan
kapuas ini. Tetapi, terbentur kawasan TNBK yang wewenangnya ada di pemerintah
pusat. Sementara izin pinjam pakai lahan tidak mudah, walaupun hanya untuk
membangun jalan. Alhasil, hingga kini masyarakat di kawasan tersebut tetap
terisolir.
Sudah
semestinya Pemerintah Pusat (Pempus) memerhatikan kabupaten konservasi.
Komitmen daerah dan masyarakatnya untuk menjaga kelestarian hutan, sudah
sepatutnya diapresiasi. Berilah solusi, agar masyarakat yang berdomisili di
sekitar kawasan lindung juga dapat merasakan dan menikmati lajunya pembangunan
di segala bidang.
Sebagai
daerah yang merelakan jutaan hektar luas wilayahnya sebagai kawasan konservasi,
seharusnya Kapuas Hulu diberikan kompensasi. Baik oleh Pempus maupun masyarakat
dunia. Sebab dengan konsistensinya menjaga hutan, tidak hanya untuk melindungi
masyarakat Kapuas Hulu, tetapi juga dunia. Kompensasi inilah yang sering
dipertanyakan pejabat maupun masyarakat Kapuas Hulu. Sebab, kompensasi terhadap
mereka dinilai relatif belum ada.
Salah
seorang pejabat Kapuas Hulu yang pernah menjadi bagian dari tim perumus
Kabupaten Konservasi di Kabupaten Kapuas Hulu, Antonius Rawing, pada 2012
pernah menyatakan ke media massa, bahwa masyarakat Kabupaten Kapuas Hulu hingga
saat ini hanya dijadikan sebagai tukang jaga hutan oleh dunia. Kontribusi
masyarakat dunia untuk masyarakat yang tinggal di Kabupaten Konservasi ini
tidak ada. Sementara ruang gerak masyarakat untuk menikmati kekayaan yang ada
di hutan dibatasi dengan aturan.
Rawing pun
mengaku menyesal sudah pernah ikut merumuskan konsep Kabupaten Konservasi. Ini
disebabkan kontribusi dunia kepada masyarakat Kapuas Hulu tidak jelas. Walaupun
menurutnya tidak ada ruginya menjaga kelestarian hutan.
Perjuangan
Pemda dan masyarakat Kapuas Hulu untuk mendapatkan kompensasi terus
dilakukan. Bahkan di bawah pimpinan AM Nasir SH, Pemerintah Kapuas Hulu
berupaya menggalang kerjasama dengan kabupaten konservasi lainnya, yaitu
Kabupaten Sigi – Sulawesi Tengah (Sulteng). Bahkan orang nomor satu di Bumi
Uncak Kapuas Hulu tersebut mengusulkan kabupaten-kabupaten konservasi di
seluruh Indonesia untuk membentuk asosiasi. Agar secara bersama-sama dapat
memperjuangkan kompensasi ke Pempus maupun dunia internasional, karena
berkomitmen menjaga hutan dan lingkungannya. Menurut Nasir, selama ini
kabupaten konservasi berjalan sendiri-sendiri memperjuangkan kesejahteraan
masyarakatnya. Sehingga apa yang menjadi tujuan masih jauh dari harapan. Kalau
ada wadah asosiasi diharapkan perjuangan kabupaten konservasi ke Pempus maupun
dunia internasional dapat didengar.
Nasir
juga memastikan, Pemda dan masyarakat Kapuas Hulu telah berkomitmen menjaga
hutan yang telah menjadi kawasan lindung. Tetapi, diakuinya masih banyak
masyarakat yang hidup di areal konservasi, kehidupannya masih di bawah garis
kemiskinan. Sementara, untuk melakukan pembangunan kepada mereka, kerap
terbentur aturan pusat. Sebab di TNDS dan TNBK yang memiliki hak penuh Pempus.
Tetapi, bila terjadi persoalan Pemda serta masyaratnya juga yang kena
imbasnya. Salah satu contoh, ketika kawasan TNDS terbakar beberapa waktu
lalu, Pemkab Kapuas Hulu mesti menganggarkan sekitar Rp 500 juta, guna
memadamkan api.
Untuk
itulah, Nasir berharap ada kompensasi Pempus dan masyarakat dunia kepada
kabupaten konservasi. Nasir tidak mau daerahnya hanya sebagai objek
penelitian negara luar. Sementara kompensasi atau intensif atas komitmen mereka
menjaga hutan, tidak ada. Dia berharap, bagaimana ke depan, dana kompensasi
dunia bisa masuk ke kas daerah untuk melakukan pembangunan. Sebab, selama ini,
dana-dana yang masuk banyak melalui NGO-NGO.